Mengenai Saya

Foto saya
Singkawang, Kalimantan Barat, Indonesia
Saya berasal dari Singkawang Kalimantan Barat. Saya anak Suku Dayak Salako Garantukng Sakawokng. Saya cinta perdamaian. Saya cinta Indonesia.

Kamis, 31 Agustus 2023

Cerita Rakyat Sakawokng (Singkawang, Kalimantan Barat) berjudul "Nek Panggoh Ka Bukitn Rubotn"

 

Nek Panggoh Ka Bukitn Rubotn


Alkisah dahulu kala di Bantang Rubotn (Roban) ada seorang Pamabore[1] bernama Nek Panggoh. Ia mempunyai seorang istri bernama Nek Ampopotn. Selain itu, ia juga memiliki dua orang anak laki-laki, bernama Kampotn dan Ambotn.

Pamabore adalah orang yang membantu mengobati orang yang sakit.  Dalam hal ini, Nek Panggoh merupakan pamabore kenekng yakni mengobati penyakit yang ringan menggunakan media baroõtn (semangkuk bara api) dan sepotong kemenyan putih. Kegiatan itu dilakukan pada sore hingga malam hari.

Sebagai seorang Pamabore, Nek Panggoh telah banyak membantu orang yang sakit. Ia memanterakan asap baraan dan nyau’otn[2] asap baraan tersebut, pada sekeliling tubuh orang yang sakit. Selain itu, ia juga menggunakan air tawar sebagai penawar penyakit. Air tawar, berupa segelas air putih yang juga dimanterakan. Sebelum diminumkan kepada pesakit, sedikit air itu diletakkan di ujung-ujung jari tangan, lalu ditepuk-tepukan di atas ubun-ubun sebanyak tiga kali, kemudian diminumkan pada orang yang sakit sebanyak tiga teguk dan sisanya diminum untuk keesokan harinya.

Kadang kala, Nek Panggoh juga menggunakan daun sirih sebagai media penggobatan. Ia mengunyah daun sirih lalu mengusapkannya ke badan, kaki, dan lengan pesakit. Lalu orang yang sakit itu, ia beri minum yang di dalamnya terdapat beberapa irisan kunyit yang dimanterakan. Semua penyakit dapat disembuhkannya ritual tersebut.

Sebagai seorang pamabore, Nek Panggoh wajib mengetahui beberapa jenis tanaman yang digunakan sebagai penawar penyakit. Tanaman-tanaman obat tersebut, diracik menjadi ramuan herbal yang dapat diminum sebagai penawar. Tidak heran jika sewaktu-waktu, ia pergi ke hutan mencari ramuan tanaman yang akan diracik sebagai obat tradisional.

 Suatu hari, Nak Panggoh mengajak kedua anaknya mencari ramuan obat ke hutan. Ia pun berkata pada anak-anaknya, "Ari nyian bapok maok ampus ka dopm utotn, bagaguok sagale dauk kayu sak tatamoõk.” (Hari ini bapak akan pergi ke hutan, hendak mencari dedaunan tanaman untuk obat-obatan.)

Jawab anaknya, "Auk gek pok, kami muih ampus gak e gek pok? (Ya kah pak, kami boleh ikut juga kah?)

 Sahut Ayahnya lagi, Muih boh, pi kaniok kitok arus basiapm-siapm dohok. Amouk kitok, udoh inuk nyiapotn ka dapur.” (Bolehlah, tapi sekarang kalian harus bersiap-siap dulu. Semua perbekalan kalian telah disiapkan ibu di dapur.)

Keduanya bergegas menuju sang ibu yang berada di dapur. Berkatalah Si Ambotn pada sang ibu, "Nuk, bapok nabananok kami ampus ngaramu ka dopm utotn.” (Ibu, ayah mengajak kami meramu tanaman ke hutan.)

Lalu sang ibu menjawab, "Ampuslah ba bapok. Tuukngik iyo ngagouk sagale daukng sak ngamuatn tatamo. Kadek anok nahuik, kitok batanyok jok ka iyo.” (Pergilah bersama ayah. Bantulah ia mencari  dedaunan yang akan diracik menjadi obat. Seandainya kalian bingung, kalian bisa bertanya kepada kepadanya.)

Ujar Si Ambotn, "Auklah nuk o kadek jako. Kami maok nunaanok bapok.” (Baiklah bu kalau begitu. Kami akan pergi bersama ayah.)

Sahut ibunya lagi sambil memberikan bungkusan yang berisi singkong bakar kesukaan kedua anaknya, "Inuk dah nyiapotn amouk sak kitok nano. Ame kaupootn imakotn boh.” (Ibu sudah menyiapkan bekal untuk kalian nanti. Jangan lupa dimakan.)

Jawab anaknya, “Auk Nuk oo.” (Ya bu.)

Ujar Ibunya lagi,Oh auk, kadek ka dopm utotn, kitok iyak kitok ngingis. Kitok ame bakato nang inok sinonoh, iyak ngacuik jukutn nang endoh. Kitok iyak mamain jauh dai bapok. Tabanan gak e Si Pogotn, asuk dirik sakng ngayukngik kitok.” (Oh ya, seandainya berada di hutan, kalian tidak boleh nakal. Kalian tidak boleh berbicara yang jorok, tidak boleh mengganggu sesuatu yang aneh. Kalian jangan bermain jauh-jauh dari ayah. Bawalah Si Pogotn, anjing kita untuk menemani kalian.)

Setelah mendengarkan nasehat dari sang ibu, lalu keduanya mengambil perbekalan yang telah disiapkan. Mereka sangat gembira, karna akan berangkat ke hutan bersama sang ayah. Sang ibu tersenyum, kala melihat kedua anaknya yang masih kecil itu, bertingkah lucu dan mengemaskan. keduanya terlihat menggandeng tangan sang ayah, yang dipunggungnya terdapat ojotn[3]. Mereka segera berangkat, menuju hutan bukitn  rubotn.[4] Salah satu bukit yang menjulang tinggi di bantang Sakawokng[5].

Di bukit itu, ada berbagai macam jenis tanaman obatan yang sangat bermanfaat untuk dijadikan tatamo (ramuan). Tanaman itu seperti binahukng (binahong), tamar basi (tamar besi), nubiik (sejenis tanaman obat), babeak[6], daun pancagetn, tampar antu, kataker, daun bangkire (bangkirai), pasak bumi (sejenis tanaman obat), kulit batang kueni (asam kweni), daun bintawok (bentawak), dan sebagainya. Tanaman-tanaman itu nantinya akan diracik sebagai ramuan untuk menyembuhkan penyakit.

Saat diperjalanan, Si Ambotn bertanya pada ayahnya sambil menunjuk ke arah sebuah bukit, "Pok, angko bukitn ameo gek?” (Ayah, apa nama bukit itu?)

Jawab sang ayah, "Angko damoe bukitn rubotn, kanaunlah dirik ampusok. Ando manyak daukng tatamo i-naun.” (Itu namanya bukit Rubotn. Di sanalah tempat yang akan kita tuju. Ada banyak tanaman obat di sana.)

Ucap Si Ambotn dengan wajah ceria, "O, jako gek pok.” (Oh begitu ya ayah.)

Jawab Sang ayah, “Auklah.” (Ya lah.)

Tak henti-henti keduanya bertanya pada sang ayah, tentang hal-hal yang belum pernah mereka lihat dan ketahui.

Tatkala mereka berbincang-bincang diperjalanan, tiba-tiba terdengar gonggongan Si Pogotn dari kejauhan, "Gukk, gukk, gukkkk."

Kata Si Ambotn, “Pok, asuk dirik nyaakng. Ameo auk nang se nyak kowo? Jek dirik nanang iyo.” (Pak, anjing kita menggonggong. Apa ya, yang digonggongnya itu? Mari kita melihatnya.)

Kata sang ayah, "Jek nakng dirik kanaun.” (Mari nak, kita ke sana.)

Mereka bergegas menuju tempat anjing itu menggonggong. Sang Ayah lalu, "Ninnnn, ameo nang kau nyakngik kowo?” (Ninnn, Apa yang kamu kejar itu?)

Anjing itu terus menggonggong, ia seperti melihat sesuatu yang aneh di dalam semak belukar. Lalu Nek Panggoh menyambangi semak belukar itu, tiba-tiba bulu kuduknya berdiri dan merasakan hal yang sangat aneh. Ia mendengar suara rintihan yang menyeramkan di balik semak-semak itu. Alangkah terperanjatnya, tatkala melihat sesosok makhluk bertubuh besar, berbulu hitam dan lebat. Makhluk itu terbaring lemah di dalam semak dekat pohon kayu aro[7].

Melihat hal itu, Nek Panggoh berusaha mengalihkan perhatian dari kedua anaknya. Hal itu dilakukan, agar mereka tidak cemas dan panik, apalagi jika mengetahui ada makhluk yang menyeramkan di dekat mereka berada.

         Ujarnya dalam hati, "Deh, ameo gek jukutne anyian? Adenek, bukotn gek angko kan antu Aboh. (Wah, apa ini? Ya ampun, bukankah itu hantu Aboh.)

Iapun segera menyuruh kedua anaknya untuk menyingkir ke belakang kira-kira lima puluh meter dari tempatnya berada.

Ujarnya, “Nak, kitok dai dohok boh. Bapok mok nanangok jukutn naun dohok.” (Anak-anak, kalian menyingkir dulu ya. Ayah akan melihat sesuatu yang ada di sana.)

Kemudian, ia bergegas kembali semak belukar itu, ia menghampiri sosok mahkluk berbulu hitam lebat sedang terbaring di semak-semak belukar.

          Berserulah Nek Panggoh dengan sedikit was-was, "Siape gek kitok anyian? Ameo bo nang tajadi i-sio” (Siapakah gerangan anda? Apakah gerangan yang terjadi di sini?)

Lalu makhluk itu bergerak perlahan seakan tak berdaya dan berkata, "Oo taino,maok gek kau nuukngik aku? Aku kaparotn sidi karamu dah imo ari inok makotn. Tubuhku lamoh, tuokngku basakitatnik, ju aku anok as agik bagarakok.” (Wahai bangsa manusia, maukah kamu membantu aku? Aku sangat lapar karena sudah lima hari tidak makan. Badanku lemah, tulang-tulangku terasa sakit, aku tidak mampu lagi untuk bergerak.)

Suaranya terdengar lemah, namun terdengar kemana-mana, hingga ke telinga kedua anak Nek Panggoh, yang bersembunyi di balik semak tak jauh dari tempat itu. Kedua anaknya ketakutan, mereka hanya bisa terdiam sambil memeluk takin sang ayah, sedangkan anjingnya terus saja menggonggong di samping sang ayah yang menemui makhluk aneh itu.

Sahut Nek Panggoh, "Oh, antu aboh, aku inok bahato pamangkanana nang nyaman. Aku kahe bahato banuok tunu. Angkopun anuk kamudokku. Aku kahe biso ngamek kau sadikitn jok.” (Wahai raksasa, aku tidak membawa makanan yang enak. Namun aku hanya membawa singkong bakar, itupun bekal anak-anakku. Aku hanya bisa memberimu sedikit saja.)

Lalu jawab itu, "Ameopun nang kau amek, aku maok. Soale aku kaparotn sidi.” (Apapun yang kau berikan, aku mau. Karena aku sangat lapar.)

Sahut Nek Panggoh, "Anti’otn dohok boh! Aku ngicangan kau dohok.” (Tunggulah sejenak! Aku akan membawakannya untukmu.)

Nek Panggoh mundur beberapa langkah ke belakang, lalu berputar seratus delapan puluh derajat ke arah anak-anaknya bersembunyi. Di pinggangnya tergantung sebuah tangkitn[8] yang sewaktu-waktu digunakan untuk melindungi dirinya.

Iapun berkata pada anak-anaknya, "Nak, muih gek bapok mintok sadikitn amouk kitok?” (Nak, bolehkah ayah minta sebagian bekal kalian.)

Bertanyalah Si Ambotn pada ayahnya, "Sak ameo ook pok?” (Untuk apa ayah?) Ia mengambil bekal yang ada di dalam takin, lalu memberikannya pada sang ayah.

Ujar Ayah, "Kitok ame gaik bouh, karamo i-naun ando urokng nang palalu bantuotn dirik. Saparo amouk anyian, bapok bareatnok ka iyo, karamo iyo dah amper baro.” (Kalian tidak perlu takut, karna di sana ada seseorang yang sedang membutuhkan pertolongan kita. Sebagian bekal kalian akan ayah berikan padanya, karena dia sangat kelaparan dan hamper pingsan.)

Jawab Si Ambotn, "Icokng sajok pok oo. Ame’otn samuo e amouk kowo ka iyo. Kasih nanang iyo.” (Ambil saja ayah, berikan semua bekal kami itu untuknya. kasihan dia.)

Nek Panggoh mengambil sebagian dari bekal itu, dan menyisakan sebagian untuk anak-anaknya. Akan tetapi, mereka tetap meminta agar sang ayah memberikan semuanya kepada orang yang lapar itu.

Iapun luluh dengan perkataan kedua anaknya, lalu ia mengambil bekal tersebut dan memberikan kepada raksasa alias  hantu Aboh[9].

Nek Panggoh lalu berkata padanya, "Anyian aku ngicangan kau banouk tunu. Makotn boh supayo kau samuh.” (Ini aku bawakan singkong bakar untukmu. Makanlah agar tenagamu pulih kembali.)

Hantu itu terlihat gembira, saat menerima singkong bakar pemberian Nek Panggoh. Ia melahap habis singkong-singkong yang diberikan padanya. Lalu katanya, "Oo taino, tarimok kasih kau dah ngamek aku makotn ari nyian. Kadek dudi kau palalu ka aku, saruk ajok aku. Aku pane nuukngik kau agik. Mulaik ari nyian dirik barayukng.” (Wahai manusia, terima kasih karna kamu telah memberi aku makan hari ini. Seandainya suatu hari kelak kau membutuhkan pertolonganku maka panggilah aku, maka aku akan segera datang untuk membantumu. Mulai hari ini, kita akan menjadi sahabat yang baik.)

Setelah berbicara, Ia mencabut beberapa helai bulu tangannya dan memberikannya kepada Nek Panggoh. Katanya, “Nyandeh aku ngamek kau bu kokotnku. Pakelah sak nyamuhotn urokng nang rongkouk. Ingatn boh! Tohanik baek-baek. Iyak sidi kau sio-siotn.” (Ini aku berikamu bulu tanganku. Pergunakanlah untuk menyembuhkan orang yang sakit. Ingatlah! Simpanlah baik-baik. Jangan pernah kau sia-siakan.)

Setelah memberikan benda tersebut, iapun pergi meninggalkan Nek Panggoh menuju puncak bukit. Nek Panggoh serasa bermimpi, dapat bertemu dengan hantu raksasa itu. Iapun langsung membungkus bulu-bulu itu dengan daukng babalik[10] yang tumbuh di sekitar tempat itu, lalu menyimpannya di dalam lipatan baju tarapm[11] yang dikenakannya.

Iapun mendekati kedua anaknya dan berkata, “Kamudok, ari nyian dirik dah mantuk jukutn nang bukotn ba-asal dai dunio dirik. Maskipun nyo o bukotn taino dahayo dirik nyian. Tapi dirik arus tatapm maok mantuk nyo o gak e. Angko udoh jaji tugas dirik ka taino.” (Anak-anak, hari ini kita telah membantu makhluk yang bukan berasal dari alam kita. Meskipun dia bukan manusia seperti kita, namun kita harus mau membantunya juga. Itu sudah menjadi tugas kita di dunia.)

Berkatalah Si Ambotn pada anaknya, "Bapok memang baek, dah maok nolong ka jukutn nang palalu patolongan.” (Ayah sangat luar biasa, karna telah sudi  menolong sesama yang membutuhkan pertolongan.)

Jawab Sang ayah, "Angkolah kamudok oo, salamok dirik idupm, dirik arus babuatn baikng. Dirik arus nolong samuo jukutn nang palalu patolongan, biar nyo oo antu sakaipun. Dirik anok muih sameno-meno ka iyo. Dirik arus mantuk iyo gak e. Kadek urokng jahatn ka dirik, anok usoh dirik jahatn ka iyo. Karamo Jubato-lah pane maas iyo. (Itulah anak-anakku, selama kita hidup, kita harus berbuat baik. Kita harus menolong semua makhluk yang membutuhkan pertolongan, meskipun ia hantu sekalipun. Kita tidak boleh semena-mena terhadap mereka. Kita juga harus membantu mereka. Jika ada yang berbuat jahat kepada kita, maka kita tidak boleh juga jahat kepadanya. Karena Tuhan-lah yang dapat membalasnya.)

Setelah berbicara kepada kedua anaknya, iapun lalu mengajak anak-anaknya pulang. Ia tidak meneruskan kegiatan meramu hari itu, karena ia takut jika hal buruk terjadi lagi. Selain itu, cuaca di sekitar tempat itu mulai gutõk-gutõk (mendung), suasana di hutan itu juga mulai tampak gelap.  Ia bergegas membawa keduanya, bersama anjing kesayangannya pulang ke rumah.

Selama lebih kurang dua jam perjalanan, tibalah mereka ke rumah. Sesampai di sana, ketiganya disambut oleh sang ibu dengan gembira.  Sang anak segera meraih tangan sang ibu, mereka menceritakan kejadian yang telah dialami saat meramu tanaman obat di hutan. Mendengar anaknya bercerita, Sang ibu hanya tersenyum saja. Ia mendengarkan dengan saksama semua yang disampaikan oleh kedua anaknya.

Waktu berlalu begitu cepat, angin mulai bertiup perlahan membawa rintik-rintik hujan yang mulai mengguyur dedaunan di malam itu. Sinar Dewi Malam tak tampak, karna bersembunyi dibalik gumpalan awan Cumolonimbus yang hitam dan pekat. Binatang malam yang biasanya riuh bernyanyi seperti boak (burung hantu), jangkerek (jangkrik), rego (kodok) di sekitar rumah keluarga Nek Panggoh tiada terdengar satupun. mungkin mereka sedang bercengkrama dengan keluarganya masing-masing.

Di rumah yang terbuat dari kayu beratap rumbia itu, terdengar suara dengkuran keras memecah gendang telinga. Suasana keheningan malam yang dingin diguyur hujan, berubah semarak karna adanya suara yang berasal dari dengkuran Nek Panggoh yang terlihat kelelahan. Ia terbaring di atas bidai yang terhampar di dalam bilik, bersama kedua anak dan istrinya.

Dalam tidurnya, ia bermimpi bertemu dengan seorang pria berjubah putih, wajahnya silau bercahaya.

Ia berkata dalam mimpinya, "Oh cucukku, Dangar boh!  Kau dah nukngik aku pas cagoh kasusohotn. Kau ngamek aku pamangkanan pas aku kaparotn. Atingu gagas dahayo Imukng. Iyak i-kotorik idupm ngu ngan jukutn nang inok baguno-guno, karamo manyak urok nang palaluŏk ka kau.” (Wahai Cucuku, Dengarlah! Kau telah menolongku di saat kesusahan. Kau memberiku makanan di saat kelaparan. Hatimu tulus seperti Merpati. Jangan kotori hidupmu dengan hal-hal yang sia-sia, karna kau sangat diharapkan oleh semua orang.)

Nek Panggoh terbangun dari mimpinya lalu berkata, "Rupae kahe bamimpi bo. Samugo Jubato ngalindungik aku samianakotn.” (Ternyata kejadian itu hanyalah mimpi. Semoga Tuhan melindungi aku sekeluarga.) Ia terjaga dari tidurnya hingga fajar menyingsing.

Terdengar kokok sabungan (ayam jantan) yang bersahut-sahutan, membangunkan anak-anak Nek Panggoh yang sedang tertidur pulas.

Nek Ampopotn yang Mendengar kokokan ayam segera bangun, dan menuju pancuran air yang ada di belakang rumah untuk membasuh wajahnya yang kusut. Setelah membasuh wajahnya, iapun berjalan ke dapur hendak memasak nasi, namun ketika dilihatnya beras yang akan dimasak telah habis. Iapun bergegas menuju bauh[12]  yang ada di dekat dapur. Ia tidak mengambil padi di dalam dango padi (lumbung padi), karena jika mengambil di sana maka harus melakukan ritual.

Ia menakar biji-biji padi yang sudah tuhur (kering) menggunakan sokmo[13], kemudian memasukkannya ke dalam sebuah bakul. Iapun membawa biji-biji padi itu ke dekat sebuah alat penumbuk yang terbuat dari kayu buyotn (belian). Bentuknya balok, sedangkan pada permukaannya berbentuk persegi panjang, pada bagian tengah terdapat lubang yang berbentuk kerucut terbalik dengan garis tengah satu jengkal setengah. Nek Ampopotn menyebut benda itu asukng (lesung), sedangkan alat penumbuk yang berbentuk tabung sepanjang satu meter setengah dinamakan alu, yang juga terbuat dari kayu belian. Ia menumbuk padi-padi itu menggunakan asukng dan alu.

 Ketika menumbuk di dalam lesung, ia memasukkan kira-kira satu bakul padi dan menambahkan sedikit serabut kelapa. Sabut kelapa itu digunakan sebagai penahan, agar padi-padi yang ditumbuk tidak berhamburan ataupun hancur.

Padi tersebut kemudian ditumbuk hingga kulitnya terkelupas. Nantinya yang tersisa hanyalah sekam dan beras. Proses ini belum selesai, tahap selanjutnya adalah menampi dan mengayak hasil tumbukan, untuk memisahkan antara sekam dan beras menggunakan pengayak dan nyiru yang terbuat dari bilah bambu. Setelah kegiatan mengayak selesai barulah, memisahkan atoh[14] dan mukutn[15] yang ada di dalam beras itu. Setelah itu, barulah beras akan dimasak menggunakan kenceng (periuk) hingga menjadi nasi yang enak.

Alunan merdu suara alu dan lesung yang bertalu-talu dengan sederetan kegiatan yang dilakukan oleh Nek Ampopotn, seakan mengguncang suasana pagi yang cerah bersama udara pagi yang segar dan sejuk karna hujan semalam.

Terlihat sang suami mengampirinya dan berkata, "Nuk, Inuk dah umpatn rupae.” (Bu, Ibu ternyata sudah bangun.)

Jawabnya, "Auk Pak oo. Mamak dah duhani dai tai.” (Iya Pak, Ibu sudah bangun dari tadi.)

Nek Panggoh pergi ke dapur, lalu mengambil air di dalam tempayan dan memanaskannya di atas tungku. Asap putih mengepul lalu keluar dari celah-celah dinding dapur yang terbuat dari Paapur (belahan bambu). Diatas tungku terdapat sokng asapm (sawang-sawang) yang telah lama berdiam dan menumpuk.

Tak beberapa lama terdengar suara anaknya bangun, "Haaa, rupae ari ko dah opm.” (Hahaaaa, ternyata hari sudah pagi.)

Sahut sang ibu kepada si Kampotn, "Auk nak ko. Matoari dah tarokng, sabungan dah bakokokotn dai tai. Mae adiik ngu? Umpaotn iyo gih! Ance kitok bamani’atik ka pancurotn.” (Ya nak. Matahari sudah bersinar, ayam-ayam jantan juga sudah berkokok sejak tadi. Mana adikmu? Ayo bangunkan adikmu, nak! Segera kalian mandi ke pancuran.)

Jawab Si Kampotn anaknya, sambil mengosok-gosok kepalanya yang gatal, "Auk mak o. Kodeh iyo dah duhani.” (Ya bu. Itu dia sudah bangun.)

Kedua anak itu memang penurut kepada orang tua, karena mereka dididik tentang kedisiplinan dan ketaatan. Jika mereka melakukan kesalahan, maka sang ayah akan memberikan sanksi. Sanksi yang diberikan bukanlah berupa hukuman fisik, akan tetapi sanksi nonfisik yang membuat mereka tidak akan mengulangi kesalahan yang sama.

Sinar Matahari sudah mulai meninggi menuju ubun-ubun kepala. Tiba-tiba dari kejauhan terdengar gonggongan, anjing kesayangan.

Lalu sang istri berkata, "Pok, ando tamoe atokng.” (Pak, ada tamu yang datang.)

Mendengar hal itu, Nek Panggoh lalu menengok keluar melalui jendela. Dia melihat ada tiga orang laki-laki berjalan menuju rumahnya, satu diantaranya terlihat lemah seperti orang sakit.

Mereka disambut hangat oleh Nek Panggoh, lalu ia berkata, "Jeklah taamok-taamok ka dango kami.” (Mari tuan-tuan, silahkan masuk ke gubuk kami.)

Mereka duduk berbincang-bincang di ruang serambi, sambil menyampaikan maksud kedatangan ke rumah Nek Panggoh, "Sabanare kami atokng kasio anyian nabanan ayukng kami nang rongkouk. Kami baarapm kitok biso nyamuhotn nyo o.” (Sebenarnya kedatangan kami ini membawa teman kami yang sakit. Kami berharap, kiranya Nek Panggoh dapat menyembuhkan penyakitnya.)

Lelaki itu menceritakan, jika temannya sudah hampir empat belas hari menderita sakit. Beberapa tabib sudah dikunjungi, namun mereka menyerah karena tak sanggup untuk menyembuhkan penyakitnya. Lalu mereka mendengar dari warga bantang Sango[16], bahwa di bantang Rubotn ada seorang tabib yang bisa mengobati penyakit. Orang itupun menyarankan, agar mereka membawa temannya yang sakit itu ke sana.

Nek Panggoh berkata, "Dirik kahe biso basaroh ka Jubato, karamo Io-lah nang biso nantuotn samuo e.” (Kita hanya bisa berserah pada Tuhan, karna Dia-lah yang bisa menentukan segalanya.)

Kata lelaki itu, "Bantuuklah kami Nek. Kami dah nabanan iyo ka ame-mae, tapi tatapm ajok masih jayo. Jare Pamabore waktu kowo, io kano tampias antu Aboh, mangkenyo jayo nang jadi e.” (Tolonglah kami Nek. Kami sudah membawanya ke mana-mana, namun tetap saja seperti ini. Menurut tabib sebelumnya, dia terkena gangguan hantu Aboh, hingga jadi begini).

Jawab Nek Panggoh, “Auklah kadek jako.” (Baiklah kalau begitu.)

Setelah mendengarkan penjelasan orang itu, ia lalu memeriksa keadaan orang itu dan melakukan ritual tanung[17]. Saat ia menanung[18], ternyata orang yang sakit itu telah diganggu oleh hantu Aboh. Ia kemudian meminta sang istri untuk membuat pàantarotn[19]. Ia mengambil segelas air yang berasal dari tujuh simpang mata air, lalu membacakan mantra kesembuhan ke dalamnya. Setelah itu, ia mencelupkan beberapa daun maso[20] dan memercikkannya di atas kepala pria itu.

Tak lama berselang, ia mengunyah beberapa lembar daun sirih, lalu menyemburkannya ke tubuh orang yang sakit itu. Ia juga menaburkan baras kuning[21] ke sekitar pria itu berbaring, lalu membacakan mantra yang tidak dimengerti bahasanya.

Malam terus berlalu seiring berputarnya bumi pada porosnya, begitu pula ritual pengobatan yang dilakukan oleh Nek Panggoh, sebentar lagi selesai dilakukan. Orang yang sakit itu dibaringkan di atas dipan, sedangkan teman-temannya yang lain memperhatikan sambil sesekali menahan rasa ngantuk. Demi kesembuhan sahabatnya, mereka rela untuk berjaga meski kondisi tubuh sudah tidak memungkinkan.

 Angin malam bertiup kencang membawa dedaunan tua terbang ke segala arah. Pepohonan di luar rumah menari-nari, mengantarkan para leluhur ke dunia Awo Pammo melalui mantra yang dibacakan oleh Nek Panggoh.  Terdengar suara kolang kulitn[22] yang menambah suasana semakin menakutkan.

Tak lama berlalu, tiupan angin kencang dan suara itupun sirna bak ditelan bumi. Hal itu, menandakan jika Nek Panggoh telah mengakhiri ritual pengobatannya. Ia bersama sang istri, kemudian membereskan semua perangkat ritual. Sedangkan pria yang sakit itu, disuruhnya untuk beristirahat agar tenaganya pulih.

Keesokan harinya, pemuda yang sakit itupun bangun, wajahnya tampak berseri. Badannya juga telah kembali pulih, Iapun menghampiri Nek Panggoh yang sedang bercengkrama pada sahabat-sahabatnya di serambi rumah.  

Nek Panggoh menyampaikan nasehat pada mereka, apabila berada di hutan, mereka tidak boleh melakukan hal-hal yang buruk, apalagi merusak alam yang dijaga oleh makhluk yang tidak kasat mata. Selain itu, ia juga menjelaskan, bahwa manusia hidup berdampingan dengan awo pammo (makhluk tak kasat mata). Oleh karena itu, sesama makhluk ciptaan Tuhan sudah seharusnya untuk hidup saling menghargai, agar tercipta keharmonisan alam.

Hari itu berlalu begitu cepat, kini tibalah bagi mereka untuk kembali ke rumah masing-masing. Sebelum pamit, Nek Ampopotn menyarankan mereka, agar mengambil jalan pintas untuk menuju kampung. Jalan pintas itu bertujuan, agar mereka terhindar dari hal-hal buruk lainnya.

Mereka berterima kasih kepada keluarga Nek Panggoh, lalu memberikan beberapa koin emas padanya sebagai balas jasa. Namun Nek Panggoh menolak, ia memilih untuk meminta sepotong benang sebagai Pangkaras[23]. Merekapun pulang ke bantang dengan perasaan yang lega.

Nek Panggoh sekeluarga merasa bahagia, karena telah melakukan hal baik kepada orang lain. Dia mengajarkan pada kedua anaknya, agar mau membantu orang yang berkesusahan, tidak melakukan pemerasan pada mereka yang mungkin saja memberikan sesuatu yang lebih.

Kata Nek Panggoh pada kedua anaknya, "Kitok, arus maok nolong urokng nang kasusohotn ameo agik ka urokng nag rongkouk. Ameo nang ando ka dirik ari nyian samuo e kowo titipotn Jubato. Dudi ari biso Se icokng agik kadek dah atokng ari e. Dirik gak e inok muih namoh ato gek ngurangik ameo nang udah i-ngatur umpat dai enek-enek dirik baharek malaluik adatn. Samuoe arus i-amuatn sidi-sidi sasuai aturatne.” (Kalian harus mau menolong orang yang berkesusahan apalagi mereka yang sakit. Segala yang kita miliki hari ini, merupakan titipan Sang Maha Pencipta. Suatu saat akan diambilnya kembali, jika tiba saatnya. Kita tidak boleh menambah atau mengurangi sesuatu yang sudah diatur oleh leluhur melalui adat. Semuanya harus dilakukan dengan baik sesuai aturannya.)

Sang istri menambahkan pada anak-anaknya, "Kadek kitok dah ayouk dudi, kitoklah nang ngantiatok kami anyian sak narusatnok adatn nang dah i-nurunan ka kami. Iyak sidi kitok nyio-nyiootn nyo oo. Karajaan jukutn nag baik. Kitok jauhik sagale jukutn nang buruk supayo kacilakootn inok nimpok kampouk dirik anyian. Kadek kacilakootn kowo atokng, kitok arus picayok kadek jubato dah ngamuatn nang sa aruse tajadi. Dirik taino arussadar ka satiap kasalahotn nang udah ingamuatn. Iyak kitok baik nangar kato boh. Anyian pasotn di urokng tuho kami duiyo nang bapiturutn sampe kaniok.” (Jika kalian sudah besar kelak, kalian lah yang akan menggantikan kami untuk meneruskan budaya leluhur kita. Jangan kalian sia-siakan semua yang telah diajarkan. Lakukan hal baik, jauhi hal buruk agar bencana tidak menimpa kampung kita. Saat bencana itu tiba, kalian harus percaya bahwa Tuhan telah melakukan kehendak-Nya. Manusia harus menyadari setiap kesalahan yang telah dilakukannya. Janganlah kalian mengacuhkan nasehat yang telah kami sampaikan ini, nasehat yang berasal dari leluhur yang diturunkan hingga sekarang.)

Keduanya mendengarkan dengan baik, berbagai hal yang disampaikan oleh kedua orangtuanya. Tentunya nasehat-nasehat tersebut akan bermanfaat saat mereka sudah dewasa.

***

Sumber Cerita:

Alm. Bahari bin Loson bin Nampo (Usia 98 tahun)

NILAI PENDIDIKAN KARAKTER:

Dari cerita yang berjudul Nek Panggoh di Bukit Rubotn, nilai pendidikan karakter yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu: kasih sayang, kerajinan, mencintai lingkungan, kepedulian, perhatian, ketaatan, amanah, murah hati, kesetiaan, kejujuran, kesediaan, keterbukaan, keingintahuan, ringan tangan, keriangan, pantang menyerah, panjang akal, mau berbagi, toleransi, rela berkorban, motivatif, kreatif, inovatif, menghargai budaya, keikhlasan, tahu berterima kasih, mau bersyukur, tepat waktu, keberanian, penurut, bijaksana, dan keramahan.

PESAN MORAL:

Dari cerita yang berjudul Nek Panggoh di Bukit Rubotn, terdapat pesan moral yang dapat dihayati, yaitu:

1.     Harus menumbuhkan sikap saling menyayangi kepada anggota keluarga;

2.     Harus taat kepada kedua orangtua;

3.     Harus melakukan hal baik kepada sesama dengan ikhlas;

4.     Harus mau berusaha dan tidak berputus asa;

5.     Menggunakan akal dan pikiran sebelum bertindak;

6.     Menghargai dan menjaga keseimbangan alam;

7.     Menjaga kesehatan dan keimanan;

8.     Tidak menyerah terhadap masalah yang dihadapi;

Tetap menjaga adat dan budaya yang telah diwariskan oleh leluhur, sebagai ciri khas dari jati diri bangsa yang kuat.

[1]) Tabib; Ahli pengobatan tradisional.

[2]) Mengasapi ke sekeliling tubuh.

[3]) Takin; Alat pengambin barang yang terbuat dari bambu dan rotan.

[4]) Bukit Roban.

[5]) Wilayah Singkawang.

[6]) Tanaman obat yang daunnya seperti sayap kupu-kupu, dahulu

    digunakan sebagai pembungkus tembakau.

[7]) Pohon Beringin.

[8]) Senjata tradisional Dayak Salako Garantukng Sakawokng.

[9]) Jenis hantu penghuni Rimba Kalimantan Barat.

[10]) Sejenis tanaman yang memiliki bentuk daun terbalik apabila

    sudah tua.

[11]) Baju yang terbuat dari kulit pohon tarap.

[12]) Wadah besar yang terbuat dari kulit kayu untuk menyimpan biji padi yang sudah kering.

[13]) Kulit buah Maja yang dikeringkan sebagai alat penakar ataupun untuk centong air.

[14]) Biji padi yang terdapat pada beras.

[15]) Beras yang hancur berukuran kecil dan halus, biasanya diberikan

     ke ayam ataupun bebek.

[16]) Kampung Sanggau Kulor

[17]) Melihat dengan mata batin.

[18]) Kegiatan bertanung atau melihat orang yang sakit menggunakan  

     mata batin.

[19]) Perangkat ritual yang berisi beras, sebuah antek (sirih,

    kapur, pinang, gambir), sebatang rokok nipah dan uang.

[20]) Tumbuhan Miana berwarna hijau.

[21]) Beras yang dicampur dengan rimpang kunyit sehingga berwarna

    kuning.

[22]) Sejenis burung malam yang bernilai mistis, bentuknya kecil dan

     memiliki bulu yang sangat indah.

[23]) Benda penawar jika penyakit itu balik menyerang tabib yang

     menyembuhkannya.

Cerita Rakyat "Nek Dengok Ngan Pangoer Nasik" Kampung Pakunam, Sakawokng (Singkawang, Kalimantan Barat)

 

Nek Dengok Ngan Pangoer Nasi’k

Dai antu tuoh[1], kisah seorang lelaki bernama Nek Dengok. Ia bujang tua, hidup sebatang kara di sebuah pondok sederhana yang terletak tidak jauh dari Bukit Sitaroujoh, Kampoukng Pakunam, Bantang Sakawokng[2].

Ia seorang petani yang ulet, rajin, dan giat bekerja. Di ladang miliknya, tumbuh beragam tanaman seperti; Unyitn (kunyit), sare (serai), ahiok (jahe), cakur (kencur), padi (padi), jagouk (jagung), banukng (singkong), ansabi kampouk (sawi kampung), gayam meroh (bayam merah), tarupm bukitn (terung kampung), dan gamang (kundur). Selain itu, ada pula tanaman buah, seperti: duriotn (durian), tampoakng (tampui), ulapm (rambai), angkohopm (engkaham), dan angkabokng (tengkawang). Dari hasil tanaman itulah, ia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Ia juga membagikan sebagian hasil ladangnya, pada anak-anak yatim piatu.

Sejak kecil, ia telah diajarkan oleh orangtuanya mengenai teknik bercocok tanam yang baik, seperti: cara menentukan lahan, waktu membuka lahan, cara menebang pohon, cara membakar lahan, dan hal lainnya tentang pertanian.

Pada suatu hari, Nek Dengok sedang bekerja di ladang. Ia membersihkan lahan, yang nantinya akan ditanami dengan bibit-bibit pohon buah. Ia memisahkan Oungoutn[3] dan Raboķ Raho[4]. Sampah-sampah yang basah dan tidak hangus terbakar, ia kumpulkan terpisah. Potongan kayu-kayu yang tidak terbakar, ditumpuk menjadi satu. Nantinya, kayu-kayu tersebut akan i-pumputn[5] hingga menghasilkan arang ataupun abu, yang digunakan untuk mengurangi tingkat keasaman pada tanah. Arang dan abu pembakaran akan ditaburkan secara merata pada lahan, sehingga saat ditanami, tanaman akan tumbuh dengan baik.

Dedaunan yang basah ia taruh pada tanah yang cekung, agar saat hujan daun tersebut dapat terendam, sehingga membusuk oleh cacing tanah dan organisme lainnya yang ada di dalam tanah. Sampah yang membusuk dapat digunakan sebagai pupuk alami yang menyuburkan tanaman.

Ia bekerja tanpa mengenal batas waktu. Meski terik Matahari memancar kuat di atas kepalanya, ia tetap saja dengan asyiknya, mengerjakan pekerjaan tersebut. Baginya, pekerjaan merupakan tanggung jawab yang harus diselesaikan.

Ujar seorang warga di dekat ladangnya, "Nek Dengok, puokng nang. Dah tangoh ari. Anok po kitok kaparotn?" (Nek Dengok, pulanglah. Hari sudah siang. Tidakkah engkau lapar?)

Jawab Nek Dengok, "Auk. Aku dah maok gak e puokngok."(Ya, Saya sudah mau juga pulang.)

Warga itu berkata lagi, "Ando gek anok kitok bahato amouk ko? Kadek anok, jek ampus ka dango kami. Dirik makotn barage-age. Aku ando bahato laokng tai umpatn ka rumoh Dak Suni. Io ngaepetnik sak amouk ka umo jare." (Apakah Nenek ada membawa bekal? Sekira tidak ada, datanglah ke pondok kami. Kita maka bersama. Saya ada membawa lauk pemberian Paman Suni. Ia bawakan untuk bekal ke ladang.)

Jawabnya, "Sak kitok ajoklah bouh. Aku ando gak e bahato laok." (Untuk kalian saja kebetulan saya juga membawa lauk dari rumah.)

Kata warga itu, "Oh, auklah kadek jako." (Oh, baiklah kalau begitu.)

Setelah berbincang-bincang, Iapun segera menuju ke dango umo (pondok ladang) yang ada di pinggir hutan.

Setibanya di pondok ladangnya, iapun menyalakan api pada tungku. Tungku itu terbuat dari batu lonjong yang disusun pada tiga penjuru. Di tengah susunan batu-batu tersebut, ia taburkan sedikit abu, lalu ia meletakkan ranting kering secara melintang, dan menempatkan kayu kecil lainnya. Ia memberi sedikit jinton[6] lalu membakarnya, sehingga apinyapun menyala membakar potongan karet dan ranting kayu tersebut.

Ia menuangkan air ke dalam kendi, lalu nongkonan aik angatn (memasak air panas) di atas tungku yang apinya telah menyala. Sembari menunggu air mendidih lebih kurang lima menit; Iapun menghidangkan sayur dan lauk, yang dibawanya dari rumah.

Ujarnya, "Kamae gek, pingotn lagor kasio? Ke anok ando." (Dimana ya piring yang ada di sini? Kenapa tidak ada.)

Ia mencari-cari di sela tumpukan barang-barang yang ada di pondok itu, lalu berkata, "Ke ando i-sio auk?" (Kenapa ada di sini?) Ia mengambil air bersih untuk mencuci piring, kemudian menghidangkan makanan di dalam sebuah piring tanah, berwarna kecoklatan.

Tak lama kemudian, air yang ia masakpun mendidih. Ia mengambil timpurukng[7], dan menuangkan air panas ke dalamnya. Dalam timpurukng itu, berisi ramuan daun keji beling dan biji kelor yang telah dioseng dan ditumbuk dari rumah.

Sambil meminum ramuan yang dibuatnya, ia melihat-lihat hidangan yang ada. Ujarnya, "Dahayo ando nang kurang, Ameo auk?" (Sepertinya ada yang kurang. Apa ya?) Ia berpikir sejenak, lalu teringat dan berkata, “Adenek, rupae aku kaupootn bahato nasi’k. Jamae nang nyian?" (Astaga, rupanya aku lupa membawa nasi. Bagaimana ini?)

Ia mencari-cari sisa beras yang ada di situ. Ucapnya dalam hati, "Kadek inok saloh, ka tapayotn kan ado ba baras. Pangarikowo aku bahato, sak dangan basuman. Tek nyo masih ando bo.” (Kalau tidak salah, di dalam tempayan itu ada beras. Waktu itu aku membawa untuk orang-orang memasak.)

Diapun ngautn (mengambil) beras yang ada di dalam tapayotn (tempayan), dengan aleng[8] sebagai alat penakar beras. Kemudian, ia  membersihkan atoh (biji padi) yang ada di beras; lalu mencuci beras tersebut, dan menaruhnya ke dalam periuk. Ia juga menambahkan sedikit air, kira-kira setengah jari orang dewasa.

Sembari menunggu nasinya matang; iapun melamun dan berkata dalam hati, “Kadek tahutn nyian umoku barasel, aku maok pangantenok.” (Seandainya tahun ini saya mendapatkan hasil yang banyak, saya akan menikah.)

Lamunan yang tidak menentu, membuatnya lupa dengan nasi yang ada di atas tongkouk (tungku). Tanpa ia sadari, nasi yang ia tongkonan (proses memasak) nyingkorak (mendidih). Tiba-tiba tutup periuk tersebut terbuka, lalu terjatuh ke abu perapian. Ia kaget, lalu mengambil pangoer (kayu pengaduk) dan mengoerotn nyo o (mengadukkannya). Karena tidak hati-hati, nasi yang ia masak tumpah ke abu perapian. Seketika itu, ia langsung naik darah dan memukul-mukul periuk nasi itu dengan sendok kayu.

Namun apa yang terjadi? Tiba-tiba, periuk itu berbicara. Sontak, Ia sangat terkejut dan ketakutan.

Periuk itu berkata, “Dameo boh tang kau bongkoķ sidi, ngarumayaik aku? Anok gek aku dah mantuk kau. Masak kau jakowo ka aku. Ameo kasalohotnku ka kau. Tang kau anyian jahat sidi boh.” (Mengapa kamu berbuat kasar kepadaku? Bukankah aku telah membantumu. Tapi kenapa kamu berbuat demikian padaku? Apa salahku padamu. Kenapa kamu jahat sekali.)

 Iapun balik bertanya, “Ngameo kau numpohotn nasik angkowo?” (Mengapa kamu menumpahkan nasi itu?)

Jawab periuk, “Jamae anok tumpohok, barang jok kau ngalamun i-hane. Nasik nang i-nyuman anok kau tanangan. (Bagaimana tidak tumpah, soalnya kamu melamun terus. Nasi yang dimasak tidak kamu perhatikan.)

Sahutnya lagi, “Denek, kitok anyian sih dah sumputn nang. Maloh ngarebehik aku! (Astaga, kalian ini sudah keterlaluan. Malah memarahiku!)

Nek Dengok memukul periuk itu dengan sendok kayu hingga kulebouk (penyok). Sendok kayu dan periuk itu menangis, karna merasakan sakit yang luar biasa. Merekapun melontarkan perkataan-perkataan yang sakral kepada Nek Dengok. Seharusnya perkataan itu tidak boleh disampaikan, karena akan berdampak buruk pada alam taino (manusia). Namun apa boleh buat, perkataan itu sampai ke Subayotn alamnya para Jubato sehingga dikabulkan oleh-Nya.

Seperti biasa, saat musim menuaipun tiba; Nek Dengok tampak bersedih hati, karna ia tidak mendapatkan tuaian seperti tahun-tahun sebelumnya. Tanamannya puso i-bangas mudu (gagal diserang hama). Begek padi e (Biji padinya) ampouķ (hampa), tanaman sayurannyapun diserang oleh hama buntakng (belalang). Ia sedih dengan  keadaan itu, dan menyesali tindakan buruk yang telah dilakukannya terhadap sendok kayu dan periuk.

Demikianlah yang terjadi pada Nek Dengok, ia telah melakukan kesalahan yang fatal, sehingga kesalahannya tidak bisa dimaafkan. Ia hidup dalam kesusahan dan sangat menderita. Semua berawal dari hal kecil yang dianggap remeh, namun ternyata berdampak besar pada kehidupannya.

Dari kejadian tersebut, warga di Kampouk Pakunam[9] percaya jika saat batuparo (memasak nasi), tidak boleh memukul-mukulkan pangoer nasik (sendok nasi) ke kenceng (periuk) karena hal tersebut dianggap amaik (pamali).

***

Sumber Cerita:

Alina Arikng istri Amuk bin Usupm Nyabukng (Usia 80 tahun)

Nilai Pendidikan Karakter:

Dari cerita yang berjudul Nek Dengok ngan Pangoer Nasi’k, nilai pendidikan karakter yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu: kesederhanaan, kerajinan, kerja keras, produktif, mawas diri, kreatif, inovatif, tahu berterima kasih, mau berbagi, murah hati, rasa kasih sayang, pengabdian, keteraturan, menghargai lingkungan, amanah, cermat, efisien, perhatian, keingintahuan, mencintai kebersihan, dan kritis.

PESAN MORAL:

Dari cerita yang berjudul Nek Dengok ngan Pangoer Nasik, terdapat pesan moral yang dapat dihayati, yaitu:

1.     Manusia harus rajin dan giat melakukan hal-hal yang bermanfaat;

2.     Manusia harus selalu bersabar ketika menghadapi masalah;

3.     Jangan melampiaskan kesalahan pada orang lain;

4.     Manusia harus berfokus pada tujuan utama dalam hidup;

5.     Manusia harus mampu berinovatif terhadap hal-hal baru yang bermanfaat bagi lingkungan alam;

6.     Penyesalan tidak akan mengubah masa lalu, dan keraguan tidak akan mengubah masa depan.



[1]) Tersebutlah.

[2]) Nama Bukit yang ada di Kampung Pakunam, Kel. Sijangkung,    

   Kec. Singkawang Selatan.

[3])  Sisa kayu yang tidak habis terbakar.

[4]) Sampah dedaunan.

[5]) Dibakar lagi menjadi satu.

[6]) Potongan karet lateks.

[7]) Gelas yang terbuat dari batok kelapa.

[8]) Alat untuk menakar beras saat akan memasak, biasanya terbuat dari logam.

[9]) Kampung Pakunam, terletak di Kelurahan Sijangkung, Kec. Singkawang Selatan.

Rabu, 09 Agustus 2023

Ujotn Maam

 Ujotn 

Ujotn 

Ujotn maam,

Aku kadinginan, aku bagagouk kubuj sak nyainunganok paraso nang anok gagas. 


Puisi Ngauk Kapalo karya Hendra Bahari Singkawang 2024

 Ngauk Kapalo (Hendra Bahari Singkawang)   Nanang mato ka oncok bukit, Maok ijook gaik taraboh, Antoh mato dameo, Mato urok taraboh, Ka puhu...