Mengenai Saya

Foto saya
Singkawang, Kalimantan Barat, Indonesia
Saya berasal dari Singkawang Kalimantan Barat. Saya anak Suku Dayak Salako Garantukng Sakawokng. Saya cinta perdamaian. Saya cinta Indonesia.

Kamis, 31 Agustus 2023

Cerita Rakyat "Nek Dengok Ngan Pangoer Nasik" Kampung Pakunam, Sakawokng (Singkawang, Kalimantan Barat)

 

Nek Dengok Ngan Pangoer Nasi’k

Dai antu tuoh[1], kisah seorang lelaki bernama Nek Dengok. Ia bujang tua, hidup sebatang kara di sebuah pondok sederhana yang terletak tidak jauh dari Bukit Sitaroujoh, Kampoukng Pakunam, Bantang Sakawokng[2].

Ia seorang petani yang ulet, rajin, dan giat bekerja. Di ladang miliknya, tumbuh beragam tanaman seperti; Unyitn (kunyit), sare (serai), ahiok (jahe), cakur (kencur), padi (padi), jagouk (jagung), banukng (singkong), ansabi kampouk (sawi kampung), gayam meroh (bayam merah), tarupm bukitn (terung kampung), dan gamang (kundur). Selain itu, ada pula tanaman buah, seperti: duriotn (durian), tampoakng (tampui), ulapm (rambai), angkohopm (engkaham), dan angkabokng (tengkawang). Dari hasil tanaman itulah, ia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Ia juga membagikan sebagian hasil ladangnya, pada anak-anak yatim piatu.

Sejak kecil, ia telah diajarkan oleh orangtuanya mengenai teknik bercocok tanam yang baik, seperti: cara menentukan lahan, waktu membuka lahan, cara menebang pohon, cara membakar lahan, dan hal lainnya tentang pertanian.

Pada suatu hari, Nek Dengok sedang bekerja di ladang. Ia membersihkan lahan, yang nantinya akan ditanami dengan bibit-bibit pohon buah. Ia memisahkan Oungoutn[3] dan Raboķ Raho[4]. Sampah-sampah yang basah dan tidak hangus terbakar, ia kumpulkan terpisah. Potongan kayu-kayu yang tidak terbakar, ditumpuk menjadi satu. Nantinya, kayu-kayu tersebut akan i-pumputn[5] hingga menghasilkan arang ataupun abu, yang digunakan untuk mengurangi tingkat keasaman pada tanah. Arang dan abu pembakaran akan ditaburkan secara merata pada lahan, sehingga saat ditanami, tanaman akan tumbuh dengan baik.

Dedaunan yang basah ia taruh pada tanah yang cekung, agar saat hujan daun tersebut dapat terendam, sehingga membusuk oleh cacing tanah dan organisme lainnya yang ada di dalam tanah. Sampah yang membusuk dapat digunakan sebagai pupuk alami yang menyuburkan tanaman.

Ia bekerja tanpa mengenal batas waktu. Meski terik Matahari memancar kuat di atas kepalanya, ia tetap saja dengan asyiknya, mengerjakan pekerjaan tersebut. Baginya, pekerjaan merupakan tanggung jawab yang harus diselesaikan.

Ujar seorang warga di dekat ladangnya, "Nek Dengok, puokng nang. Dah tangoh ari. Anok po kitok kaparotn?" (Nek Dengok, pulanglah. Hari sudah siang. Tidakkah engkau lapar?)

Jawab Nek Dengok, "Auk. Aku dah maok gak e puokngok."(Ya, Saya sudah mau juga pulang.)

Warga itu berkata lagi, "Ando gek anok kitok bahato amouk ko? Kadek anok, jek ampus ka dango kami. Dirik makotn barage-age. Aku ando bahato laokng tai umpatn ka rumoh Dak Suni. Io ngaepetnik sak amouk ka umo jare." (Apakah Nenek ada membawa bekal? Sekira tidak ada, datanglah ke pondok kami. Kita maka bersama. Saya ada membawa lauk pemberian Paman Suni. Ia bawakan untuk bekal ke ladang.)

Jawabnya, "Sak kitok ajoklah bouh. Aku ando gak e bahato laok." (Untuk kalian saja kebetulan saya juga membawa lauk dari rumah.)

Kata warga itu, "Oh, auklah kadek jako." (Oh, baiklah kalau begitu.)

Setelah berbincang-bincang, Iapun segera menuju ke dango umo (pondok ladang) yang ada di pinggir hutan.

Setibanya di pondok ladangnya, iapun menyalakan api pada tungku. Tungku itu terbuat dari batu lonjong yang disusun pada tiga penjuru. Di tengah susunan batu-batu tersebut, ia taburkan sedikit abu, lalu ia meletakkan ranting kering secara melintang, dan menempatkan kayu kecil lainnya. Ia memberi sedikit jinton[6] lalu membakarnya, sehingga apinyapun menyala membakar potongan karet dan ranting kayu tersebut.

Ia menuangkan air ke dalam kendi, lalu nongkonan aik angatn (memasak air panas) di atas tungku yang apinya telah menyala. Sembari menunggu air mendidih lebih kurang lima menit; Iapun menghidangkan sayur dan lauk, yang dibawanya dari rumah.

Ujarnya, "Kamae gek, pingotn lagor kasio? Ke anok ando." (Dimana ya piring yang ada di sini? Kenapa tidak ada.)

Ia mencari-cari di sela tumpukan barang-barang yang ada di pondok itu, lalu berkata, "Ke ando i-sio auk?" (Kenapa ada di sini?) Ia mengambil air bersih untuk mencuci piring, kemudian menghidangkan makanan di dalam sebuah piring tanah, berwarna kecoklatan.

Tak lama kemudian, air yang ia masakpun mendidih. Ia mengambil timpurukng[7], dan menuangkan air panas ke dalamnya. Dalam timpurukng itu, berisi ramuan daun keji beling dan biji kelor yang telah dioseng dan ditumbuk dari rumah.

Sambil meminum ramuan yang dibuatnya, ia melihat-lihat hidangan yang ada. Ujarnya, "Dahayo ando nang kurang, Ameo auk?" (Sepertinya ada yang kurang. Apa ya?) Ia berpikir sejenak, lalu teringat dan berkata, “Adenek, rupae aku kaupootn bahato nasi’k. Jamae nang nyian?" (Astaga, rupanya aku lupa membawa nasi. Bagaimana ini?)

Ia mencari-cari sisa beras yang ada di situ. Ucapnya dalam hati, "Kadek inok saloh, ka tapayotn kan ado ba baras. Pangarikowo aku bahato, sak dangan basuman. Tek nyo masih ando bo.” (Kalau tidak salah, di dalam tempayan itu ada beras. Waktu itu aku membawa untuk orang-orang memasak.)

Diapun ngautn (mengambil) beras yang ada di dalam tapayotn (tempayan), dengan aleng[8] sebagai alat penakar beras. Kemudian, ia  membersihkan atoh (biji padi) yang ada di beras; lalu mencuci beras tersebut, dan menaruhnya ke dalam periuk. Ia juga menambahkan sedikit air, kira-kira setengah jari orang dewasa.

Sembari menunggu nasinya matang; iapun melamun dan berkata dalam hati, “Kadek tahutn nyian umoku barasel, aku maok pangantenok.” (Seandainya tahun ini saya mendapatkan hasil yang banyak, saya akan menikah.)

Lamunan yang tidak menentu, membuatnya lupa dengan nasi yang ada di atas tongkouk (tungku). Tanpa ia sadari, nasi yang ia tongkonan (proses memasak) nyingkorak (mendidih). Tiba-tiba tutup periuk tersebut terbuka, lalu terjatuh ke abu perapian. Ia kaget, lalu mengambil pangoer (kayu pengaduk) dan mengoerotn nyo o (mengadukkannya). Karena tidak hati-hati, nasi yang ia masak tumpah ke abu perapian. Seketika itu, ia langsung naik darah dan memukul-mukul periuk nasi itu dengan sendok kayu.

Namun apa yang terjadi? Tiba-tiba, periuk itu berbicara. Sontak, Ia sangat terkejut dan ketakutan.

Periuk itu berkata, “Dameo boh tang kau bongkoķ sidi, ngarumayaik aku? Anok gek aku dah mantuk kau. Masak kau jakowo ka aku. Ameo kasalohotnku ka kau. Tang kau anyian jahat sidi boh.” (Mengapa kamu berbuat kasar kepadaku? Bukankah aku telah membantumu. Tapi kenapa kamu berbuat demikian padaku? Apa salahku padamu. Kenapa kamu jahat sekali.)

 Iapun balik bertanya, “Ngameo kau numpohotn nasik angkowo?” (Mengapa kamu menumpahkan nasi itu?)

Jawab periuk, “Jamae anok tumpohok, barang jok kau ngalamun i-hane. Nasik nang i-nyuman anok kau tanangan. (Bagaimana tidak tumpah, soalnya kamu melamun terus. Nasi yang dimasak tidak kamu perhatikan.)

Sahutnya lagi, “Denek, kitok anyian sih dah sumputn nang. Maloh ngarebehik aku! (Astaga, kalian ini sudah keterlaluan. Malah memarahiku!)

Nek Dengok memukul periuk itu dengan sendok kayu hingga kulebouk (penyok). Sendok kayu dan periuk itu menangis, karna merasakan sakit yang luar biasa. Merekapun melontarkan perkataan-perkataan yang sakral kepada Nek Dengok. Seharusnya perkataan itu tidak boleh disampaikan, karena akan berdampak buruk pada alam taino (manusia). Namun apa boleh buat, perkataan itu sampai ke Subayotn alamnya para Jubato sehingga dikabulkan oleh-Nya.

Seperti biasa, saat musim menuaipun tiba; Nek Dengok tampak bersedih hati, karna ia tidak mendapatkan tuaian seperti tahun-tahun sebelumnya. Tanamannya puso i-bangas mudu (gagal diserang hama). Begek padi e (Biji padinya) ampouķ (hampa), tanaman sayurannyapun diserang oleh hama buntakng (belalang). Ia sedih dengan  keadaan itu, dan menyesali tindakan buruk yang telah dilakukannya terhadap sendok kayu dan periuk.

Demikianlah yang terjadi pada Nek Dengok, ia telah melakukan kesalahan yang fatal, sehingga kesalahannya tidak bisa dimaafkan. Ia hidup dalam kesusahan dan sangat menderita. Semua berawal dari hal kecil yang dianggap remeh, namun ternyata berdampak besar pada kehidupannya.

Dari kejadian tersebut, warga di Kampouk Pakunam[9] percaya jika saat batuparo (memasak nasi), tidak boleh memukul-mukulkan pangoer nasik (sendok nasi) ke kenceng (periuk) karena hal tersebut dianggap amaik (pamali).

***

Sumber Cerita:

Alina Arikng istri Amuk bin Usupm Nyabukng (Usia 80 tahun)

Nilai Pendidikan Karakter:

Dari cerita yang berjudul Nek Dengok ngan Pangoer Nasi’k, nilai pendidikan karakter yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu: kesederhanaan, kerajinan, kerja keras, produktif, mawas diri, kreatif, inovatif, tahu berterima kasih, mau berbagi, murah hati, rasa kasih sayang, pengabdian, keteraturan, menghargai lingkungan, amanah, cermat, efisien, perhatian, keingintahuan, mencintai kebersihan, dan kritis.

PESAN MORAL:

Dari cerita yang berjudul Nek Dengok ngan Pangoer Nasik, terdapat pesan moral yang dapat dihayati, yaitu:

1.     Manusia harus rajin dan giat melakukan hal-hal yang bermanfaat;

2.     Manusia harus selalu bersabar ketika menghadapi masalah;

3.     Jangan melampiaskan kesalahan pada orang lain;

4.     Manusia harus berfokus pada tujuan utama dalam hidup;

5.     Manusia harus mampu berinovatif terhadap hal-hal baru yang bermanfaat bagi lingkungan alam;

6.     Penyesalan tidak akan mengubah masa lalu, dan keraguan tidak akan mengubah masa depan.



[1]) Tersebutlah.

[2]) Nama Bukit yang ada di Kampung Pakunam, Kel. Sijangkung,    

   Kec. Singkawang Selatan.

[3])  Sisa kayu yang tidak habis terbakar.

[4]) Sampah dedaunan.

[5]) Dibakar lagi menjadi satu.

[6]) Potongan karet lateks.

[7]) Gelas yang terbuat dari batok kelapa.

[8]) Alat untuk menakar beras saat akan memasak, biasanya terbuat dari logam.

[9]) Kampung Pakunam, terletak di Kelurahan Sijangkung, Kec. Singkawang Selatan.

Tidak ada komentar:

Puisi Ngauk Kapalo karya Hendra Bahari Singkawang 2024

 Ngauk Kapalo (Hendra Bahari Singkawang)   Nanang mato ka oncok bukit, Maok ijook gaik taraboh, Antoh mato dameo, Mato urok taraboh, Ka puhu...