Mengenai Saya

Foto saya
Singkawang, Kalimantan Barat, Indonesia
Saya berasal dari Singkawang Kalimantan Barat. Saya anak Suku Dayak Salako Garantukng Sakawokng. Saya cinta perdamaian. Saya cinta Indonesia.

Kamis, 21 September 2023

Cerpen "Enola" Karya Siswa kelas XI

 

Enola

 

Aku Enola.  Ya, Enola.  Bukankah nama ini terlihat indah? Tidak menurutku. Jika kau membacanya dengan terbalik maka itu akan menjadi "Alone". Nama ini mengandung arti kesepian, dan aku tidak suka itu. Seperti kisah yang telah kualami sejak itu, aku sadar bahwa nama ini ternyata memang benar-benar terjadi dihidupku. Rasa suka yang tiba-tiba datang tanpa terundang, menghadirkan kebahagiaan serta kegalauan yang menjadi satu. Menjadi jejak yang disimpan selama ini.

Bola mata yang indah, senyum yang dia pancarkan bersamaan dengan surai rambutnya yang hitam. Entahlah, aku tidak bisa menjelaskan rasanya. Rasa yang tidak familiar dan asing bagiku ini tiba-tiba datang dan mulai menghantuiku. Rasa bersalah yang terbesit begitu saja yang akhirnya perlahan kutahu arti rasa ini tidak lain adalah rasa suka.

Dengan mendengar dia yang berkata "akan lebih baik jika kita berteman hingga tua nanti, aku akan sangat bahagia" Disini aku merasa ini semakin salah, rasa bersalah ini menyakitkan dan tidak memberiku kesempatan untuk bahagia. Tetapi disini aku ingin mencoba menciptakan suasana kebahagiaan, lalu aku menjawab "Dan aku juga  akan bahagia" sambil tertawa bersama. Hahaha lucu saja dengan kalimat yang kulontarkan itu. Sangat berbanding terbalik dengan keadaan yang ku rasakan saat itu.

Ada kalanya rasa suka tersebut tersalah artikan. Rasa suka yang dimaksud berbeda dengan rasa suka seperti Romeo dan Juliet. Aku salah mengartikan rasa suka sebagai teman akrab, ke rasa suka seperti Romeo dan Juliet. Benar, perasaan ini menjadi hal yang paling salah, hal yang paling tidak kusukai terbawa hingga saat ini. Aku tahu diriku dan dia merupakan sahabat, dan aku tahu bagaimana akhirnya. Aku sudah mencoba untuk melewati, melompati, membuang rasa itu, tetapi nihil, rasa suka ini terlanjur membekas dan menyakitiku.

Sebenarnya tidak jauh sesudah rasa suka ini ada, tanpa pemberitahuan yang jelas, aku pindah. Pindah selamanya dari tempat yang indah sekaligus menyakitkan itu. Kupikir dengan begini diriku akan cepat melupakan rasa suka tersebut. Ku coba untuk melupakan dengan melakukan hal-hal yang berbeda dengan dulu, hal yang tidak mengingatkanku akan dirinya. Namun bukannya menghilang, rasa ini meninggalkan jejak. Jejak yang kian berubah dari waktu ke waktu. Ya ini adalah rindu, rindu  ini membuatku mengingat semua kenangan yang telah dilalui bersama dengannya, memori indah yang meninggalkan jejak. Hingga tanpa kusadari perasaan yang kutanam sejak itu tumbuh, dan makin membesar. Rasa sukaku padanya tak pernah hilang. Kesal dengan dirinya, kenapa bisa hadir dihidupku. Apakah kita dipertemukan hanya untuk waktu yang singkat itu? Kenapa, kenapa kita tidak pernah bisa bertemu kembali. Aneh, diriku yang berucap seperti ini, padahal dirikulah yang menghindarinya. Aku tidak bisa melihat wajahnya, aku takut perasaan itu akan menjadi-jadi. Yang kutahu, Dia menganggap ku sebagai teman dekatnya, hanya sebatas teman. Rasa suka yang salah ini kini hanya menjadi cerita lama. Dan jujur yang sangat nyata. Aku sudah menaruh rasa sekian tahunnya.

Sekarang, aku ingin merubah pemikiranku tentang arti namaku. Kalau dipikir-pikir juga  nama ini tidak selamanya memiliki arti yang tidak bagus. Disisi lain, aku menemukan arti "alone" yang berarti aku bisa melakukan ini sendiri, jalan hidupku hanya aku yang tahu. Aku yang mengalami semua ini sendiri dan aku harus bisa menanganinya.

Memang benar pikirku, hubungan sahabat yang terjalin antara perempuan dan laki-laki tidak selamanya akan menjadi sahabat yang kekal, ada saja cobaan yang dialami. Diantara salah satu pihak pasti ada yang timbul rasa dan rasa tersebut akan menjadi potensi, apakah dua orang tersebut akan bersama menjalin romansa atau malah sebaliknya seperti keadaanku ini.

Kamis, 31 Agustus 2023

PUISI "KUMBANG KU, MANA?" Karya Hendra bahari Singkawang

 

KUMBANG KU, MANA?

 

                       Asak hatimu dariku,

         Karna kumbang gemuk,

Ukir cerita pada bui hati.

 

Hela nafas menantang badai,

          Anjar dilempar dari kapal,

                    Nyatalah kumbang terbirit-birit,

                                Yojana hati telah binasa,

                                            Anyang tersaji tak enak di lidah.

 

             Buncah pikiranku,

Ingat kumbang yang pergi,

             Silu hatiku,

Anyir hidupku.

 

                                   Dalam diam hati berkecamuk,

                             Ikrar telah kau khianati,

               Apalah daya kumbang lain,

Menculik dia yang terkasih.

 

Pakunam, September  2019

 

PUISI "MERDEKA SANG PENA"

 

MERDEKA SANG PENA

 

Pena Intan berkilau bersama berkibarnya Sang Saka,

Elok dan gagahnya Garuda Emas tiada tertandingi, mengitari langit Nusantara.

Ntah berapa lama? Namun, kemilau itu tidak akan sirna bersama sayap-sayap tembaga,

Di tengah carut-marutnya dunia Pendidikan, tertuang tinta hitam di atas kertas putih,

Itukah gerangan? Apakah maksudnya? Ia hanya mampu berhela nafas.

Di masa ke-78 tahun, hengkangnya Kaum Penjajah di Bumi Pertiwi.

Inikah Pena Intan yang bertinta Emas?

Kau keliru, sangat keliru, itu keliru.

Antara Merah dan Putih, tersimpan titik Hitam siap mengikis Nusantara,

Namun janganlah kau kira, itu baik-baik saja.

 

Meradangnya Pena Intan yang berkilauan,

Enggan berkata, memilih diam.                               Membisu seribu bahasa pada Sang Saka,

Renggang, hampir putus!                                                  Pena Intan tetaplah perjuangan tanpa tanda jasa.

Dengan Pena Intan yang mulai rapuh.                                          Engkau kobarkan taring emasmu,

Engkau luluhkan carut-marut.                 Dunia Pendidikan yang hampir kelam.

Kau keliru! Kau keliru! Kau sangat keliru!

Anggapan kau goreskan di tengah keelokan garuda Emas, hanyalah kekecewaan.

 

Kemerdekaan akan terus ada, meski Sukma Pena Intan meradang,

Akan kembali tinta Pena Intan dalam Sanubari Pejuang Tanpa Tanda Jasa,

Nan menghiasi pengabdiannya di tanah Nusantara.

 

 

Karya: Hendrasius, S.Pd.

Pakunam, Singkawang, Kalimantan Barat.

"Antu Pugohok Tungkatn Nek Nongan" Cerita Rakyat Dayak Salako Garantukng Sakawokng, Pakunam, Sijangkung, Kecamatan Singkawang Selatan, Kalimantan Barat

 

Antu Pugohok Tungkatn Nek Nongan

Alkisah ada seorang nenek bernama Nek Nongan. Ia tergolong Awo Pammo (Makhluk Halus) yang tinggal di bulan, namun sesekali waktu berkeliaran ke alam manusia. Kala itu, taino (manusia) dan hantu hidup babaikotn (bersahabat). Mereka hidup saling tolong menolong, meski memiliki alam yang berbeda.

Nek Nongan memiliki kaki yang panjang, bongkok, rambutnya putih, jari tangannya berjumlah sebelas dengan kuku-kuku yang tajam. Ia gemar nyirih dan nginang, yaitu mengunyah daun sirih yang dicampur dengan pinang, kapur dan gambir layaknya nenek-nenek tua di alam manusia.

Ia mempunyai sebuah tungkatn (tongkat) yang selalu dibawa pada saat bulan purnama ataupun gerhana bulan. Ia turun ke bumi dengan tongkat itu, untuk mencari benda-benda yang bercahaya.

Suatu hari di Bantang Pakunam tersiar kabar, jika malam bulan purnama akan tiba. Purnama yang jatuh pada bulan keempat dalam sistem penanggalan subsuku Dayak Salako Garantukng Sakawokng,[1] atau bulan lima pada penanggalan Masehi. Waktu tersebut merupakaan saat bagi Nek Nongan untuk turun dan berkeliling ke Taino (Alam manusia).

Kabar kedatangan Nek Nongan ke dunia manusia, tersiar ke seluruh kampung. Hal ini membuat warga bersiap-siap untuk menyambut kedatangannya dengan ritual. Ritual dilakukan sehari sebelum datangnya bulan purnama. Ritual dilakukan agar Nek Nongan tidak mengganggu warga yang ada di bantang (rumah).

Ucap warga bernama Nek Tarukupm, "Ando gek kitok nangar barito, kadek Nek Nongan mok atokngok?" (Apakah kalian ada mendengar kabar, jika Nek Nongan akan datang?)

Jawab Nek Gonde, "Auk gek. Aku i-nok nahuik kè. Kadek jako, ampagi jeklah dirik basiapm-siapm book. Babo dangan ampus ka Padagi." (Iyakah, Kok saya tidak tahu. Kalau benar begitu, ayo besok pagi kita mempersiapkan ritual besam-sam[2]. Ajak orang-orang pergi ke tempat pemujaan.)

Ujar Nek Tarukupm,"Oh auklah, ame kaupootn kitok matakik nang laine bouh." (Oh iyalah, jangan lupa mengabari yang lainnya.)

Mendengar kabar tersebut, warga bergegas menyiapkan berbagai bahan ritual booķ. Mereka bersama-sama mempersiapkan bahan sesajian yang akan dibawa ke Padagi. Padagi merupakan tempat pemujaan yang berada di atas gunung. Gunung dipilih sebagai tempat pemujaan, karena jaraknya dekat dengan langit. Di atas langit ada Matahari dan Bulan. Di sana juga ada Jubato yang akan melihat, mendengar, dan berbicara kepada manusia.

Berkatalah Nek Ayok, "Kitok arus ngomo'an sagale parabutn boh. Parabutn-parabutn anyian kitok gagouk ka dopm utotn." (Kalian harus mengumpulkan segala bahan keperluan ritual. Semua keperluan itu harus dicari di dalam hutan.)

Sahut Nek Jamang, "Dameo ajok parabutn nang mok kami siapotnok kowo?" (Apa saja bahan keperluan yang harus kami persiapkan?)

Kata Nek Ayouk, "Dangar bouh, anyian parabutn nang arus kitok siapotn: ui dodokng, daukng tumiang, daukng i-nyarupm, tabo-òkng, daukng inyuokng, daukng jarikng, paku, saputn putih. Abu gak e kitok siapotn, i-paamas ka dopm pingotn ato gek kadutn. Gonenganik sagale parabutn kowo ka gapakng pintu. Ame kaupootn aik panawar nang i-ngicok dai padagi kowo sak nawarik nyo oo. Akok angko siapotn gak ee paantarotn kadopm pingotn nang isik e karakek, pinang, gamer, kapur, timako i golong ngan daukng nipoh, paku, baras diisinsik ka pingotn ko tai. Sagale timako nang i-golong kowo i-tohanik ka atas baras kowo ba paku. Ame kaupootn ngamuat tumpik, poek ngan bontouk."

(Dengarlah baik-baik, inilah bahan keperluan ritual yang harus kalian siapkan: rotan hutan, daun bambu tamiang, daun i-nyarupm, tabo-òkng, daun injuang, daun jengkol, paku, kain putih. Kalian juga harus menyediakan abu yang dimasukkan ke dalam piring atau bungkusan kain  kecil, gantung semua bahan tersebut di palang pintu. Jangan lupa air penawar yang telah diambil dari tempat penyembahan sebagai air penawar. Selain itu siapkan juga sesajian yang berisi sirih, pinang, gambir, kapur, tembakau yang digulung dengan daun nipah, paku, beras disi didalam piring tersebut. Semua tembakau yang telah digulung bersama daun nipah ditaruh di atas beras bersama paku. Jangan lupa membuat kue cucur, lemang tradisional, dan kue nasi lepet.)

Setelah mendengar arahan yang disampaikan, merekapun bergegas menyiapkan segala kebutuhan. Mereka bergotong-royong pergi ke  hutan, mencari tanaman dan beberapa kebutuhan ritual. Ada pula yang berada di rumah membuat makanan adat dan masakan yang akan di sajikan selama ritual berlangsung. Semua kegiatan dilakukan dengan semangat.

Saat yang ditunggupun tiba; Warga memagari rumah masing-masing dengan ui dodokng (rotan hutan), dan menggantung beberapa alat peraga adat di depan rumah. Mereka melarang anak-anaknya untuk keluar dari rumah, baik siang ataupun malam. Selain itu, anak-anak juga diingatkan agar tidak membuat kegaduhan di dalam rumah, selama tiga hari dua malam. Mereka mengunci rapat pintu rumah, agar tidak ada yang masuk ataupun keluar.

Selama ritual booķ dilaksanakan, Nek Nongan berkeliling di sekitar rumah. Ia akan mengambil benda-benda yang bercahaya ataupun mereka yang berada di luar rumah. Namun, jika ia melihat tanda yang digantung di depan rumah, maka ia akan melewati rumah tersebut. Ia mengira rumah itu sepi, gelap dan tak berpenghuni.

Seorang Ibu berkata pada anaknya, "Namaam buotn tarokng, kitok ame mamain ka uwas. Tēk-tēk Nek Nongan tabanan kitok ka buotn." (Nanti malam bulan bersinar terang, kalian jangan bermain di luar. Kalau-kalau Nek Nongan bawa kalian ke bulan.)

Sahut anaknya,"Auk gek mak? Aku gaik oo kadek jako. Pulak aku gaik ka antu." (Ya kah bu? Aku takut kalau begitu. Karena aku takut dengan hantu.)

Ujar Sang Ayah "Batol sidi ko, jare mamak. Nek Nongan koo pane tarabokng, kamae kitok dariok kadek se gelah boh." (Benar sekali apa yang ibumu katakan.)

Nek Nongan senang kepada benda yang bercahaya. Karena kesenangannya, tak heran jika ia selalu menangkap kunang-kunang yang berterbangan di langit. Selain itu, ia akan mengejar benda-benda yang bercahaya apalagi benda tersebut dapat mengeluarkan sinar kemilauan.

Nek Nongan berjalan mengitari kampung, sambil berkata, “Akú maók ngaguók agík jukutn nang ando baoé. Hihiihiihihi.” (Aku akan mencari lagi sesuatu yang ada cahayanya. Hihiihiihihi.)

Nek Nongan memang makhluk halus yang sakti. Dengan sekejap mata, ia telah berada di tengah perkampungan.

Tak jauh dari situ, ada satu keluarga. Nek Tanggurakng itulah kepala keluarganya. Ia memiliki seorang anak gadis yang masih perawan. Rumahnya terlihat gelap dan sepi. Nek Nongan hanya melihat tali rotan yang terikat di depan rumah. Iapun tidak masuk ke dalam, hanya berkeliling di sekitarnya saja.

Hal aneh terjadi pada anak gadis itu. Ia merasakan perutnya sakit. Lalu berkata pada ibunya, “Adék ooo mak, parutku nyian sakit sidì.” (Aduh bu, perutku sakit sekali.)

Jawab ibunya, "Dameo nak? Parutngu sakit gek? Cobo gih nyocokng aik garopm ka dapur." (Ada apa nak? Perutmu sakit? Cobalah minum air garam ke dapur.)

Ia berkata lagi, "Aku dah i-nok tahan mak a. Aku mok barihook." (Aku sudah tidak tahan bu. Aku ingin buang air besar.)

Ujar sang ibu, “Kadek jako, kau ampus ajok ka dopm utotn naun gih, barihok dohok.”(Kalau begitu, kamu pergi saja ke hutan, buang air besar dulu.)

Karena merasa sudah tidak mampu menahan, iapun buru-buru mengambil obor dan pergi menuju hutan. Di sana, ia mencari tempat yang tepat untuk buang air besar. Dengan tangan memegang obor, Iapun duduk di bawah sebatang pohon yang rimbun.

Ujar gadis itu, “Adenek, puhutn kayu nyian tang kayouk sidi, ando gek auk barampuk o-sio? Maap bouh nek kadek aku ngotorik tampat kitok anyian, barang jok aku dah i-nok tahan sidi.” (Aduh, pohon ini besar sekali, adakah penunggunya di sini? maafkan aku jika telah membuat kotor tempat ini, karna aku sudah tidak mampu menahan rasa sakit perutku.)

Tiba-tiba Nek Nongan melihat seberkas cahaya dari kejauhan. Iapun berkata, “Hi, hi, hi.... Kodéh ando ba báo búotn.” (Hihhiihii.... Itu ada cahaya bulan.)

Iapun mendatangi sumber cahaya yang tak lain adalah obor sang gadis.

Tanpa disadari oleh sang gadis, Nek Nongan sambil memegang tongkat sudah berada tidak jauh dari hadapannya. Melihat cahaya yang terang benderang, Nek Nongan tertawa keras sambil mengetuk-ngetukkan tongkotnya ke tanah sambil tertawa, “Hihihihi.... Kodeh bao buotn, sidi nang anyian bao buotn. Aku maok nangkapok iyo.” (Hihihiihihiihi.... Itu cahaya bulan, benar-benar ini cahaya bulan. Aku mau menangkapnya.)

Terdengar bunyi tongkat Nek Nongan, “Tunk hak, tunk hak, tunk hak.” (tung hak tung hak, tung hak.)

Bunyi tersebut, membuat bulu kuduk Sang Gadis merinding. Ujar gadis itu sambil ketakutan, “Adanok, munyi ameo kowo. Adek adah, angkowokan munyí antu.

(Aduh, suara apa itu. Ya ampun, itukan suara hantu.)

Tiba-tiba Nek Nongan mengarahkan tongkatnya ke arah obor, dan mengenai obor itu. Dia sangat terkejut, saat melihat seorang nenek tua berada di depannya. Iapun berteriak, “Antuuuu.” (Hantuuuu).

Ujar Sang Gadis, “O Nek, Dameo kitok nyojo colopku nyian? Ameo salohku ka kitok? tang kitok jako magaiik aku.” (Hai nenek, Mengapa nenek menusuk oborku? Apa salahku kepadamu? kenapa nenek menakutiku.)

Lalu Nek Nongan pun berkata kepada gadis itu, “Aku Nek Nongan. Aku agik bagagouk jukutn nang ba bao. (Saya Nek Nongan. Saya mencari benda yang bercahaya.)

Diapun langsung menunjuk ke arah obor yang ada di tangan Sang Gadis. Seketika itu, Sang Gadis meniup obornya, lalu berseru, “Antu Pugohok, antu Pugohok kodeh nangkapok aku.” (Hantu Pugohok, ada hantu Pugohok ingin menangkapku.)

Gadis itu lari ketakutan untuk menyelamatkan diri sambil memegang sebuah obor yang telah padam. Nek Nongan dengan tongkatnya berusaha mengejar, namun gagal. Akhirnya gadis itu selamat hingga sampai ke rumah.

Sejak kejadian yang dialami oleh sang gadis, penduduk dikampung itu tidak lagi mengijinkan anak perempuannya untuk keluar pada malam hari, terutama pada saat bulan purnama. Mereka takut jika mereka kelauar maka akan ditangkap oleh nek Nongan.

Selain itu, mereka juga tidak lagi membuang hajat di sembarangan tempat karena telah bisa membuat johotn (kakus) di dekat bantang-bantang mereka. Hal ini dimaksudkan, agar tidak terjadi hal buruk terhadap anggota keluarga mereka, terutama pada saat akan membuang hajat pada malam hari.

***

Sumber Cerita:

Adriana Tinting anak Mincai binti Loson (Usia 48 tahun).

 

 

NILAI PENDIDIKAN KARAKTER:

Dari cerita yang berjudul Antu Pugohok Tongkat Nek Nongan, nilai pendidikan karakter yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu: rasa keingintahuan dan kepenasaranan, kerjasama, kecerdasan, panjang akal, menghargai diri sendiri, mawas diri, kepedulian, kritis, perhatian, menjaga lingkungan.

PESAN MORAL:

Dari cerita yang berjudul Antu Pugohok Tongkat Nek Nongan, terdapat pesan moral yang dapat kita resapi dan hayati, yaitu:

1.     Setiap orang harus bisa hidup berdampingan dengan makhluk lain selain manusia itu sendiri;

2.     Setiap orang harus siap sedia terhadap hal yang mungkin terjadi sewaktu-waktu;

3.     Orangtua berkewajiban untuk menjaga dan melindungi anak-anaknya dari hal-hal yang dapat mendatangkan mara bahaya;

4.     Setiap orang harus cerdas, mampu berinovatif dan kreatif dalam segala situasi;

5.     Setiap orang harus menggunakan akal dan pikirannya dengan baik agar tidak muncul persepsi negatif;

6.     Setiap orang harus bisa menjaga kebersihan dan kesehatan dengan cara memelihara diri, keluarga, masyarakat dan lingkungan alam.



[1]) Subsuku  Dayak berbahasa Badameo di wilayah Singkawang.

[2]) Ritual pada subsuku Dayak Salako Garantukng Sakawokng.

Puisi Ngauk Kapalo karya Hendra Bahari Singkawang 2024

 Ngauk Kapalo (Hendra Bahari Singkawang)   Nanang mato ka oncok bukit, Maok ijook gaik taraboh, Antoh mato dameo, Mato urok taraboh, Ka puhu...