Antu
Pugohok Tungkatn Nek Nongan
Alkisah
ada seorang nenek bernama Nek Nongan. Ia tergolong Awo Pammo (Makhluk
Halus) yang
tinggal di bulan, namun sesekali waktu berkeliaran ke alam manusia. Kala itu, taino (manusia) dan hantu hidup babaikotn (bersahabat).
Mereka hidup saling tolong menolong, meski memiliki alam
yang berbeda.
Nek Nongan memiliki kaki yang
panjang, bongkok, rambutnya putih,
jari tangannya berjumlah sebelas dengan kuku-kuku yang tajam. Ia gemar nyirih dan
nginang, yaitu mengunyah
daun sirih yang dicampur dengan pinang, kapur dan gambir layaknya nenek-nenek
tua di alam
manusia.
Ia
mempunyai sebuah tungkatn (tongkat) yang selalu dibawa pada saat
bulan purnama ataupun gerhana bulan. Ia turun ke bumi dengan tongkat
itu, untuk
mencari benda-benda yang bercahaya.
Suatu
hari di Bantang Pakunam tersiar kabar, jika malam bulan
purnama akan tiba. Purnama yang jatuh pada bulan keempat dalam sistem
penanggalan subsuku Dayak Salako
Garantukng Sakawokng, atau bulan lima pada
penanggalan Masehi.
Waktu tersebut merupakaan saat bagi Nek Nongan untuk turun dan berkeliling ke Taino (Alam
manusia).
Kabar
kedatangan Nek Nongan ke dunia manusia, tersiar ke seluruh kampung. Hal ini
membuat warga bersiap-siap untuk menyambut kedatangannya dengan ritual. Ritual
dilakukan sehari sebelum datangnya bulan purnama. Ritual dilakukan agar Nek
Nongan tidak mengganggu warga yang ada di bantang
(rumah).
Ucap
warga
bernama Nek Tarukupm, "Ando gek
kitok nangar barito, kadek Nek Nongan mok atokngok?" (Apakah kalian ada
mendengar kabar, jika Nek Nongan akan datang?)
Jawab Nek
Gonde, "Auk
gek. Aku i-nok nahuik kè. Kadek jako, ampagi jeklah dirik basiapm-siapm book.
Babo dangan ampus ka Padagi." (Iyakah, Kok saya tidak
tahu. Kalau benar begitu, ayo besok pagi kita mempersiapkan ritual besam-sam.
Ajak orang-orang pergi ke tempat pemujaan.)
Ujar
Nek Tarukupm,"Oh auklah, ame kaupootn
kitok matakik nang laine bouh." (Oh iyalah,
jangan lupa mengabari yang lainnya.)
Mendengar
kabar tersebut, warga
bergegas menyiapkan berbagai bahan ritual booķ. Mereka
bersama-sama mempersiapkan bahan sesajian yang akan dibawa ke Padagi. Padagi merupakan tempat pemujaan yang
berada di atas gunung. Gunung
dipilih sebagai tempat pemujaan,
karena jaraknya dekat dengan langit. Di atas langit ada Matahari dan Bulan. Di
sana juga ada Jubato yang akan
melihat, mendengar, dan berbicara
kepada manusia.
Berkatalah
Nek Ayok, "Kitok arus ngomo'an sagale parabutn
boh. Parabutn-parabutn anyian kitok gagouk ka dopm utotn." (Kalian
harus mengumpulkan segala bahan keperluan
ritual. Semua keperluan itu harus dicari
di dalam hutan.)
Sahut Nek
Jamang,
"Dameo ajok parabutn nang mok kami
siapotnok kowo?" (Apa saja bahan keperluan yang harus kami
persiapkan?)
Kata Nek
Ayouk,
"Dangar bouh, anyian parabutn nang
arus kitok siapotn:
ui
dodokng, daukng tumiang, daukng i-nyarupm, tabo-òkng, daukng inyuokng, daukng jarikng,
paku, saputn putih. Abu gak e kitok siapotn, i-paamas ka dopm pingotn ato gek
kadutn. Gonenganik sagale parabutn kowo ka gapakng pintu. Ame kaupootn aik
panawar nang i-ngicok dai padagi kowo sak nawarik nyo oo. Akok angko siapotn
gak ee paantarotn kadopm pingotn nang isik e karakek, pinang, gamer, kapur, timako i
golong ngan daukng nipoh, paku, baras diisinsik ka pingotn ko tai. Sagale
timako nang i-golong
kowo i-tohanik
ka atas baras kowo ba paku. Ame
kaupootn ngamuat tumpik, poek ngan bontouk."
(Dengarlah baik-baik, inilah
bahan
keperluan ritual yang harus kalian siapkan: rotan hutan, daun bambu
tamiang, daun i-nyarupm, tabo-òkng,
daun injuang, daun jengkol, paku,
kain putih. Kalian juga
harus menyediakan abu yang
dimasukkan ke dalam
piring atau bungkusan kain kecil,
gantung semua bahan tersebut di palang pintu. Jangan lupa air penawar yang
telah diambil dari tempat penyembahan sebagai air penawar. Selain itu siapkan
juga sesajian yang berisi sirih, pinang, gambir, kapur,
tembakau yang digulung dengan daun nipah, paku, beras disi didalam piring
tersebut. Semua tembakau yang telah digulung bersama daun nipah ditaruh di atas
beras bersama paku. Jangan lupa membuat kue cucur, lemang
tradisional, dan kue nasi lepet.)
Setelah
mendengar arahan
yang disampaikan, merekapun bergegas menyiapkan segala kebutuhan.
Mereka bergotong-royong pergi ke
hutan, mencari tanaman dan beberapa kebutuhan ritual. Ada pula yang
berada di rumah membuat makanan adat dan masakan yang akan di sajikan selama
ritual berlangsung. Semua kegiatan dilakukan dengan semangat.
Saat yang
ditunggupun tiba; Warga
memagari rumah masing-masing dengan ui
dodokng (rotan hutan), dan menggantung beberapa alat peraga adat di depan
rumah. Mereka
melarang anak-anaknya untuk keluar dari
rumah, baik
siang ataupun malam. Selain itu, anak-anak juga diingatkan agar tidak membuat
kegaduhan di
dalam rumah, selama
tiga hari dua malam. Mereka mengunci
rapat pintu
rumah, agar tidak ada yang masuk ataupun keluar.
Selama ritual booķ dilaksanakan,
Nek Nongan
berkeliling di sekitar rumah. Ia akan mengambil benda-benda yang bercahaya ataupun mereka yang berada di luar rumah.
Namun,
jika ia melihat tanda yang digantung di depan rumah, maka ia akan melewati rumah
tersebut. Ia
mengira rumah
itu sepi, gelap dan tak berpenghuni.
Seorang
Ibu berkata pada
anaknya, "Namaam buotn tarokng, kitok
ame mamain ka uwas.
Tēk-tēk Nek Nongan tabanan kitok ka buotn." (Nanti malam bulan bersinar terang, kalian jangan bermain
di luar. Kalau-kalau Nek Nongan bawa kalian ke bulan.)
Sahut anaknya,"Auk gek mak? Aku gaik oo kadek jako.
Pulak aku gaik ka antu." (Ya kah bu? Aku takut kalau begitu. Karena aku takut
dengan hantu.)
Ujar Sang Ayah "Batol
sidi ko, jare mamak. Nek Nongan koo pane tarabokng, kamae kitok dariok kadek se
gelah boh."
(Benar sekali apa yang ibumu katakan.)
Nek
Nongan senang kepada benda yang bercahaya. Karena kesenangannya, tak heran jika
ia selalu menangkap kunang-kunang yang berterbangan di langit. Selain itu, ia akan mengejar
benda-benda yang bercahaya apalagi benda tersebut dapat mengeluarkan sinar
kemilauan.
Nek
Nongan berjalan mengitari kampung, sambil berkata, “Akú maók
ngaguók agík jukutn
nang ando baoé. Hihiihiihihi.” (Aku akan mencari lagi sesuatu yang ada cahayanya. Hihiihiihihi.)
Nek
Nongan memang makhluk halus yang sakti. Dengan sekejap mata, ia telah berada di tengah
perkampungan.
Tak
jauh dari situ, ada satu keluarga. Nek Tanggurakng itulah kepala
keluarganya. Ia memiliki seorang anak gadis yang masih perawan. Rumahnya
terlihat gelap dan sepi. Nek Nongan hanya melihat tali rotan yang terikat di depan
rumah. Iapun
tidak masuk ke dalam, hanya berkeliling di sekitarnya saja.
Hal
aneh terjadi pada anak
gadis itu.
Ia merasakan perutnya sakit.
Lalu berkata pada ibunya, “Adék ooo mak, parutku nyian sakit
sidì.” (Aduh bu, perutku sakit sekali.)
Jawab
ibunya, "Dameo nak? Parutngu sakit gek? Cobo gih nyocokng aik garopm ka
dapur."
(Ada apa nak? Perutmu sakit? Cobalah
minum air garam ke dapur.)
Ia
berkata lagi, "Aku dah i-nok tahan
mak a. Aku mok barihook." (Aku sudah tidak tahan bu. Aku ingin buang air besar.)
Ujar
sang ibu, “Kadek jako, kau ampus ajok ka
dopm utotn naun gih, barihok dohok.”(Kalau
begitu,
kamu pergi saja ke hutan, buang air besar dulu.)
Karena
merasa sudah tidak mampu menahan, iapun buru-buru mengambil obor dan pergi
menuju hutan. Di sana, ia mencari tempat yang tepat untuk buang air besar.
Dengan tangan memegang obor, Iapun duduk di bawah sebatang pohon yang rimbun.
Ujar
gadis itu, “Adenek, puhutn kayu
nyian tang kayouk sidi, ando gek auk barampuk o-sio? Maap bouh nek kadek aku
ngotorik tampat kitok anyian, barang jok aku dah i-nok tahan sidi.” (Aduh, pohon ini besar
sekali, adakah penunggunya di sini? maafkan aku jika telah membuat kotor
tempat ini, karna aku sudah tidak mampu menahan rasa sakit perutku.)
Tiba-tiba
Nek
Nongan melihat seberkas cahaya dari kejauhan. Iapun
berkata, “Hi, hi, hi.... Kodéh ando ba báo
búotn.” (Hihhiihii.... Itu ada
cahaya bulan.)
Iapun mendatangi sumber
cahaya yang tak lain adalah obor sang gadis.
Tanpa
disadari oleh sang gadis, Nek Nongan sambil memegang tongkat sudah berada tidak
jauh dari hadapannya. Melihat cahaya yang terang benderang, Nek Nongan tertawa
keras sambil mengetuk-ngetukkan tongkotnya ke tanah sambil tertawa, “Hihihihi.... Kodeh bao buotn, sidi nang
anyian bao buotn. Aku maok nangkapok iyo.” (Hihihiihihiihi....
Itu cahaya bulan, benar-benar ini cahaya bulan. Aku mau menangkapnya.)
Terdengar
bunyi tongkat Nek Nongan, “Tunk hak, tunk
hak, tunk hak.” (tung hak tung hak, tung hak.)
Bunyi
tersebut, membuat bulu kuduk Sang Gadis merinding. Ujar gadis itu
sambil
ketakutan, “Adanok, munyi ameo
kowo. Adek adah, angkowokan munyí antu.”
(Aduh, suara
apa itu. Ya ampun, itukan suara hantu.)
Tiba-tiba
Nek Nongan mengarahkan tongkatnya ke arah obor, dan mengenai obor itu. Dia
sangat terkejut, saat melihat seorang
nenek tua berada di depannya. Iapun berteriak, “Antuuuu.” (Hantuuuu).
Ujar
Sang Gadis, “O Nek, Dameo kitok nyojo
colopku nyian? Ameo salohku ka kitok? tang kitok jako magaiik aku.” (Hai nenek, Mengapa
nenek menusuk oborku? Apa salahku
kepadamu? kenapa nenek
menakutiku.)
Lalu
Nek
Nongan pun berkata kepada gadis itu, “Aku Nek Nongan. Aku
agik bagagouk jukutn nang ba bao.” (Saya Nek Nongan. Saya
mencari benda yang bercahaya.)
Diapun
langsung menunjuk ke arah obor yang ada di tangan Sang Gadis. Seketika itu,
Sang Gadis meniup obornya, lalu berseru, “Antu
Pugohok, antu Pugohok kodeh nangkapok aku.” (Hantu Pugohok, ada hantu Pugohok
ingin menangkapku.)
Gadis itu
lari ketakutan untuk menyelamatkan diri sambil memegang sebuah
obor yang telah padam. Nek
Nongan dengan tongkatnya berusaha mengejar, namun gagal. Akhirnya gadis itu
selamat
hingga sampai ke rumah.
Sejak
kejadian yang dialami oleh sang
gadis, penduduk dikampung itu tidak lagi mengijinkan anak perempuannya untuk keluar
pada malam hari, terutama pada saat bulan purnama. Mereka takut
jika mereka kelauar maka akan ditangkap oleh nek Nongan.
Selain itu, mereka juga
tidak lagi membuang hajat di sembarangan
tempat karena telah bisa
membuat johotn (kakus)
di dekat bantang-bantang mereka. Hal ini dimaksudkan, agar tidak terjadi hal
buruk terhadap anggota keluarga mereka, terutama pada saat akan membuang hajat
pada malam hari.
***
Sumber Cerita:
Adriana
Tinting anak Mincai binti Loson (Usia 48
tahun).
NILAI PENDIDIKAN KARAKTER:
Dari
cerita yang berjudul Antu Pugohok Tongkat Nek
Nongan,
nilai pendidikan karakter yang dapat diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari, yaitu:
rasa keingintahuan dan kepenasaranan, kerjasama, kecerdasan, panjang
akal, menghargai diri sendiri, mawas diri, kepedulian, kritis, perhatian,
menjaga lingkungan.
PESAN MORAL:
Dari
cerita yang berjudul Antu Pugohok Tongkat Nek
Nongan,
terdapat pesan moral yang dapat kita resapi dan hayati, yaitu:
1.
Setiap
orang harus bisa hidup berdampingan dengan makhluk lain selain manusia itu
sendiri;
2.
Setiap
orang harus siap sedia terhadap hal yang mungkin terjadi sewaktu-waktu;
3.
Orangtua
berkewajiban untuk menjaga dan melindungi anak-anaknya dari hal-hal yang dapat
mendatangkan mara bahaya;
4.
Setiap
orang harus cerdas, mampu berinovatif dan kreatif dalam segala situasi;
5.
Setiap
orang harus menggunakan akal dan pikirannya dengan baik agar tidak muncul
persepsi negatif;
6.
Setiap
orang harus bisa menjaga kebersihan dan kesehatan dengan cara memelihara diri,
keluarga, masyarakat dan lingkungan
alam.