Nek Dengok
Ngan Pangoer Nasi’k
Dai antu tuoh[1], kisah
seorang lelaki
bernama Nek Dengok.
Ia bujang tua,
hidup sebatang kara di sebuah pondok sederhana yang terletak tidak jauh
dari Bukit
Sitaroujoh, Kampoukng Pakunam, Bantang
Sakawokng[2].
Ia seorang petani yang
ulet, rajin, dan giat bekerja. Di ladang miliknya, tumbuh beragam tanaman seperti; Unyitn (kunyit), sare (serai), ahiok
(jahe), cakur (kencur), padi (padi), jagouk (jagung), banukng
(singkong), ansabi kampouk (sawi kampung), gayam meroh (bayam merah), tarupm bukitn (terung kampung), dan gamang (kundur). Selain itu, ada
pula
tanaman buah,
seperti: duriotn (durian), tampoakng (tampui), ulapm
(rambai), angkohopm (engkaham), dan angkabokng
(tengkawang).
Dari hasil tanaman
itulah, ia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Ia juga membagikan sebagian
hasil ladangnya,
pada anak-anak yatim piatu.
Sejak kecil, ia
telah
diajarkan oleh orangtuanya mengenai
teknik
bercocok tanam yang baik, seperti:
cara menentukan
lahan, waktu
membuka lahan, cara menebang pohon, cara membakar lahan, dan hal lainnya tentang
pertanian.
Pada suatu
hari, Nek Dengok sedang bekerja di
ladang. Ia membersihkan
lahan, yang nantinya akan ditanami dengan bibit-bibit pohon buah. Ia memisahkan Oungoutn[3]
dan Raboķ
Raho[4]. Sampah-sampah yang basah dan tidak hangus terbakar, ia
kumpulkan terpisah.
Potongan kayu-kayu yang tidak terbakar, ditumpuk menjadi satu.
Nantinya, kayu-kayu tersebut akan i-pumputn[5] hingga
menghasilkan arang ataupun abu,
yang digunakan
untuk mengurangi tingkat keasaman pada tanah.
Arang
dan abu pembakaran akan ditaburkan secara merata pada lahan, sehingga saat ditanami, tanaman akan tumbuh
dengan baik.
Dedaunan
yang basah ia taruh pada tanah yang cekung, agar
saat hujan daun tersebut dapat
terendam, sehingga membusuk oleh cacing tanah dan organisme
lainnya yang ada di dalam tanah. Sampah yang membusuk dapat digunakan sebagai pupuk alami yang menyuburkan
tanaman.
Ia
bekerja tanpa
mengenal batas waktu. Meski terik Matahari
memancar kuat di atas kepalanya,
ia tetap saja dengan asyiknya, mengerjakan pekerjaan tersebut. Baginya,
pekerjaan merupakan tanggung jawab yang harus diselesaikan.
Ujar
seorang warga di dekat ladangnya, "Nek
Dengok, puokng nang. Dah tangoh ari. Anok po kitok kaparotn?" (Nek
Dengok, pulanglah. Hari sudah siang. Tidakkah engkau lapar?)
Jawab Nek
Dengok, "Auk. Aku dah maok gak e
puokngok."(Ya, Saya sudah mau juga pulang.)
Warga
itu berkata lagi,
"Ando gek anok kitok bahato amouk
ko? Kadek anok, jek ampus ka dango kami. Dirik makotn barage-age. Aku ando
bahato laokng tai umpatn ka rumoh Dak Suni. Io ngaepetnik sak amouk ka umo
jare." (Apakah Nenek ada membawa bekal? Sekira tidak ada, datanglah ke
pondok kami. Kita maka bersama. Saya ada membawa lauk pemberian Paman Suni. Ia
bawakan untuk bekal ke ladang.)
Jawabnya,
"Sak kitok ajoklah bouh. Aku ando
gak e bahato laok." (Untuk
kalian saja kebetulan saya juga membawa lauk dari rumah.)
Kata
warga itu, "Oh, auklah kadek
jako." (Oh, baiklah kalau begitu.)
Setelah
berbincang-bincang,
Iapun
segera menuju ke dango umo (pondok ladang) yang
ada di pinggir hutan.
Setibanya
di pondok ladangnya, iapun menyalakan api pada tungku. Tungku itu terbuat dari
batu lonjong yang disusun pada tiga penjuru. Di tengah susunan batu-batu
tersebut, ia taburkan sedikit abu, lalu ia meletakkan ranting kering secara
melintang, dan menempatkan kayu kecil lainnya. Ia memberi sedikit jinton[6]
lalu
membakarnya,
sehingga apinyapun menyala membakar potongan karet
dan ranting kayu tersebut.
Ia
menuangkan air ke dalam kendi, lalu
nongkonan aik angatn (memasak
air panas) di
atas tungku yang apinya telah menyala. Sembari menunggu air mendidih lebih
kurang lima menit; Iapun menghidangkan sayur dan lauk, yang dibawanya
dari rumah.
Ujarnya, "Kamae
gek,
pingotn lagor kasio?
Ke anok ando."
(Dimana ya piring yang
ada di sini? Kenapa tidak ada.)
Ia mencari-cari di sela tumpukan
barang-barang yang ada di pondok itu, lalu berkata, "Ke ando i-sio auk?" (Kenapa ada di sini?) Ia mengambil air bersih
untuk mencuci
piring,
kemudian menghidangkan makanan di dalam sebuah piring tanah,
berwarna kecoklatan.
Tak lama kemudian, air yang ia masakpun mendidih. Ia
mengambil timpurukng[7], dan menuangkan air panas ke
dalamnya. Dalam timpurukng itu, berisi ramuan daun keji beling dan biji
kelor yang telah dioseng dan ditumbuk dari rumah.
Sambil
meminum ramuan yang dibuatnya, ia melihat-lihat hidangan yang ada. Ujarnya, "Dahayo ando nang kurang, Ameo
auk?" (Sepertinya ada yang kurang. Apa ya?) Ia berpikir
sejenak, lalu
teringat dan berkata, “Adenek, rupae aku
kaupootn bahato nasi’k. Jamae nang nyian?" (Astaga, rupanya aku lupa membawa
nasi. Bagaimana ini?)
Ia
mencari-cari
sisa beras
yang ada di situ. Ucapnya dalam
hati, "Kadek inok saloh,
ka tapayotn kan ado ba baras. Pangarikowo aku bahato, sak dangan basuman. Tek
nyo masih ando bo.” (Kalau
tidak salah, di dalam tempayan itu ada beras. Waktu itu aku membawa untuk
orang-orang memasak.)
Diapun
ngautn (mengambil) beras yang ada di
dalam tapayotn (tempayan), dengan aleng[8]
sebagai alat penakar beras. Kemudian, ia membersihkan atoh (biji padi) yang ada di beras; lalu mencuci beras tersebut, dan menaruhnya ke dalam periuk. Ia
juga
menambahkan sedikit air, kira-kira setengah jari
orang dewasa.
Sembari
menunggu nasinya matang; iapun melamun dan berkata dalam hati, “Kadek tahutn nyian umoku barasel, aku maok
pangantenok.” (Seandainya tahun ini saya mendapatkan hasil yang banyak,
saya akan menikah.)
Lamunan yang tidak menentu,
membuatnya lupa dengan nasi yang ada
di atas tongkouk (tungku).
Tanpa ia sadari, nasi yang ia tongkonan (proses memasak) nyingkorak (mendidih). Tiba-tiba
tutup
periuk tersebut terbuka, lalu terjatuh ke abu perapian. Ia kaget, lalu
mengambil pangoer (kayu
pengaduk) dan mengoerotn nyo o (mengadukkannya). Karena tidak hati-hati,
nasi yang ia masak tumpah ke abu perapian. Seketika itu,
ia langsung
naik darah dan memukul-mukul
periuk nasi itu dengan
sendok kayu.
Namun
apa yang terjadi? Tiba-tiba, periuk itu berbicara. Sontak, Ia sangat terkejut dan ketakutan.
Periuk
itu berkata, “Dameo
boh tang kau bongkoķ sidi, ngarumayaik aku? Anok gek aku dah mantuk kau. Masak
kau jakowo ka aku.
Ameo kasalohotnku ka kau. Tang kau anyian
jahat sidi boh.” (Mengapa kamu berbuat
kasar kepadaku?
Bukankah aku telah
membantumu. Tapi kenapa kamu berbuat demikian padaku? Apa salahku padamu.
Kenapa kamu jahat sekali.)
Iapun balik bertanya, “Ngameo
kau numpohotn nasik angkowo?” (Mengapa
kamu
menumpahkan nasi itu?)
Jawab periuk, “Jamae anok tumpohok,
barang jok kau ngalamun i-hane. Nasik nang i-nyuman anok kau tanangan.” (Bagaimana tidak tumpah,
soalnya kamu melamun terus. Nasi yang
dimasak tidak kamu perhatikan.)
Sahutnya
lagi, “Denek, kitok anyian sih
dah sumputn nang. Maloh ngarebehik aku!” (Astaga, kalian ini
sudah keterlaluan. Malah memarahiku!)
Nek
Dengok memukul periuk itu dengan sendok kayu hingga kulebouk (penyok).
Sendok kayu dan periuk itu menangis, karna merasakan sakit yang luar
biasa.
Merekapun melontarkan perkataan-perkataan yang sakral kepada
Nek Dengok.
Seharusnya perkataan itu tidak boleh disampaikan, karena akan berdampak buruk
pada alam taino (manusia). Namun apa
boleh buat, perkataan itu sampai ke Subayotn
alamnya para Jubato sehingga dikabulkan oleh-Nya.
Seperti
biasa, saat musim
menuaipun tiba;
Nek Dengok tampak bersedih hati, karna ia tidak mendapatkan tuaian seperti tahun-tahun
sebelumnya. Tanamannya
puso i-bangas mudu (gagal diserang hama). Begek padi e (Biji
padinya) ampouķ (hampa), tanaman sayurannyapun diserang oleh hama buntakng (belalang). Ia sedih dengan keadaan itu, dan menyesali tindakan buruk yang
telah dilakukannya terhadap
sendok kayu dan periuk.
Demikianlah yang terjadi pada Nek Dengok, ia telah
melakukan kesalahan yang fatal, sehingga kesalahannya tidak bisa dimaafkan. Ia hidup dalam kesusahan dan sangat menderita. Semua berawal
dari hal
kecil yang dianggap remeh, namun ternyata berdampak besar pada kehidupannya.
Dari kejadian
tersebut, warga di Kampouk Pakunam[9]
percaya jika
saat batuparo (memasak
nasi),
tidak boleh memukul-mukulkan pangoer
nasik (sendok nasi) ke kenceng (periuk) karena hal tersebut dianggap amaik (pamali).
***
Sumber Cerita:
Alina Arikng istri Amuk bin Usupm
Nyabukng (Usia
80 tahun)
Nilai Pendidikan Karakter:
Dari
cerita yang berjudul Nek Dengok
ngan Pangoer Nasi’k,
nilai pendidikan karakter yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari,
yaitu: kesederhanaan, kerajinan, kerja keras, produktif, mawas
diri, kreatif, inovatif, tahu berterima kasih, mau berbagi, murah hati, rasa
kasih sayang, pengabdian, keteraturan, menghargai lingkungan, amanah, cermat,
efisien, perhatian, keingintahuan, mencintai kebersihan, dan kritis.
PESAN MORAL:
Dari
cerita yang berjudul Nek
Dengok ngan Pangoer Nasik,
terdapat pesan moral yang dapat dihayati, yaitu:
1.
Manusia harus rajin dan giat melakukan hal-hal yang
bermanfaat;
2.
Manusia harus selalu bersabar ketika menghadapi masalah;
3.
Jangan melampiaskan kesalahan pada orang lain;
4.
Manusia harus berfokus pada tujuan utama dalam hidup;
5.
Manusia harus mampu berinovatif terhadap hal-hal baru
yang bermanfaat bagi lingkungan alam;
6.
Penyesalan tidak akan mengubah masa lalu, dan keraguan
tidak akan mengubah masa depan.
[1]) Tersebutlah.
[2]) Nama Bukit yang
ada di Kampung Pakunam, Kel. Sijangkung,
Kec. Singkawang
Selatan.
[3])
Sisa kayu
yang tidak habis terbakar.
[4]) Sampah dedaunan.
[5]) Dibakar lagi menjadi satu.
[6]) Potongan karet lateks.
[7]) Gelas yang terbuat dari batok kelapa.
[8]) Alat untuk
menakar beras saat akan memasak, biasanya terbuat dari logam.
[9]) Kampung Pakunam, terletak
di Kelurahan Sijangkung, Kec. Singkawang Selatan.