Mengenai Saya

Foto saya
Singkawang, Kalimantan Barat, Indonesia
Saya berasal dari Singkawang Kalimantan Barat. Saya anak Suku Dayak Salako Garantukng Sakawokng. Saya cinta perdamaian. Saya cinta Indonesia.

Rabu, 11 Oktober 2023

CERPEN "PAKATAN" Karya Hendrasius Bahari

 

PAKATAN

(Karya Hendrasius Bahari)

Seperti peribahasa lama, karena Setitik Nila Maka Rusaklah Susu Sebelanga. Itulah peribahasa yang tepat untuk aku ucapkan pada keadaanku. Kebaikan seseorang akan hilang, disebabkan suatu kesalahan. Namun itu semua berpulang dari siapa yang memberi penilaian, tentang baik buruknya seseorang. Mungkin saja kita menganggap diri kita paling benar, akan tetapi belum tentu itu mutlak hal yang benar. Ada kalanya kita menilai orang lain itu salah, akan tetapi belum tentu orang tersebut salah. Semua terpulang pada kaca mata yang memberikan sudut pandang penilaian masing-masing.

Ini terjadi kala Ia mulai sadar, sesungguhnya mereka tidak menyayanginya lagi. Ia telah berkorban namun mereka tidak menghargai pengorbanannya. Mereka hanya mengingat kesalahan yang dilakukan dan menganggapnya suatu kesalahan yang fatal.

“Aku benci bapak! Aku tak mau mengenal bapak lagi,” ujar Yoel dengan tulisan di WA bernada kebencian yang menyayat hatinya.

Dengan perasaan kecewa, sang bapak menuliskan balasan pesan singkat di WA, “Mengapa kau tuliskan kata-kata itu, nak? Tahukah kamu jika itu menyakitkan hati Bapak!”

“Lho, memang bapak marah. Bapak tahu sendiri, jika hal itu membuat aku sakit hati terhadap bapak,” balasnya dengan nada seolah-olah memberi penghakiman jika yang salah adalah sang bapak.

“Baik nak, bapak mengakui kesalahan itu. Namun kamu harus tahu, jika bapak mempunyai alasan untuk membela diri terhadap tuduhan yang kamu sampaikan,” balas sang bapak.

Lanjut balasnya pada sang bapak, “Mulai hari ini aku akan ngekos, aku tidak mau lagi pulang ke rumah bapak!”

            Yoel marah pada sang bapak, karena kejadian beberapa hari lalu. Saat itu ada seorang teman perempuan Yoel, bernama Cia. Ia adalah teman sekolah Yoel sewaktu SMA, juga sama-sama alumni pada sebuah panti asuhan di kota Singkawang. Mereka keluar dari panti asuhan karena telah berbuat kasus yang hampir mencoreng nama baik panti asuhan. Menurut informasi yang akuterima dari sahabatnya yang lain, jika diam-diam Cia telah melakukan hubungan terlarang dengan Thomas, sahabatnya. Hal itu benar atau tidak, pastinya aku dapatkan berita dari orang yang benar. Dan hal inilah yang paling aku takutkan padanya, jika ia memanfaatkannya sebagai korban berikutnya.

            “Permisi pak, selamat sore?” sapa Cia di depan pintu sambil memegang gadged miliknya. Lalu sahut sang bapak yang sore itu sedang menyapu ruang tamu, “Sore juga. Oh Cia yang datang. Ayo silahkan masuk! Tapi maaf ya bapak sedang nyapu neh, soalnya sibuk tadi pagi.”

“Ya pak, tidak apa,” jawab Cia.

Tanya bapak, “Oh ya Ci, bagaimana kabarmu?”

“Baik pak. Kalau bapak bagaimana? Sehatkah?” tanya Cia. “Bapak kurang enak badan, karena beberapa hari ini terkena hujan terus saat pulang kerja,” sahut bapak.

Dengan basa-basi Cia bertanya, “Oh ya pak, Yoel ada pak?

Jawab bapak, “Yoel belum pulang, mungkin dia hari ini tidak pulang. Memangnya kamu tidak tahu jika dia bekerja di hotel Swiss Bellin, Singkawang Grand Mall di bagian juru masak.”

Jawabnya, “Ada sih pak dia beri tahu.”

Ucapku lagi, “Hari ini dia tidak pulang, karena katanya sedang menjalani proses tryning kenaikan pangkat. Tadi subuh bapak mengantarnya ke sana sekitar jam empat subuh.”

Sahut Cia, “Oh gitu ya pak.”

“Iya.” Jawab bapak.

“Oh ya pak, tadi saya VC Yoel, sebenarnya saya ingin meminjam gitar Yoel. Kalau berkenan sih,” ujar Cia sambal tersenyum simpul dengan rambut terurai.

Cia mengatakan bahwa ia hendak meminjam gitar milik Yoel, gitar itu terpampang di dinding dalam ruang kamar tengah bersebelahan ranjang besi kuno, milik ibu.

Mendengar hal itu spontan sang bapak berkata, “Kok Yoel tidak menelpon bapak ya? Padahal bapak kan ada seharian di rumah.”

Sahut Cia, “Barusan Yoel nelpon saya pak!”  Jawabnya, “Lho, kok bisa.” Tambahnya pula, “Jujur seh, bapak tidak berani meminjamkan gitarnya, karena ada aturan di rumah ini jika semua anggota keluarga tidak boleh meminjamkan barang secara sembarangan meskipun kamu teman baiknya. Aturan itu dibuat oleh kakek untuk menghindari hal-hal buruk yang telah terjadi sekitar lima puluh tahun lalu di rumah ini.”

“Ya pak, Cia mengerti maksud bapak.” Jawab Cia, yang nama lengkapnya Elva Enquinci. Tampaknya Cia terlihat kesal dengan sang bapak. itu tampak dari wajahnya yang jutek dan memuliki aura negatif.

Sang bapak bercerita secara panjang lebar atas kejadian itu. Sang bapak sambil sesekali mendengarkan curhatan dari cia yang selama ini telah bekerja di salah satu kantor yang memiliki bos etnis thionghoa, dengan gaji sebesar tiga juta rupiah perbulan dengan biaya makan dan penginapan gratis oleh boss yang menanggung semua biaya kehidupannya selama dia bekerja di tempat itu.

Cia juga bercerita jika dia harus menggunakan uangnya untuk hal-hal yang bermanfaat. “Saya pak sebenaarnya ingin kuliah, tapi kadang saya masih ragu. Saya takut membebani keluarga, memang seh gaji saya besar. Namun saya harus berbagi dengan orangtua saya. Saya ingin menyenangkan mereka. Bibi juga mendukung saya untuk kuliah, ia menyarankan saya untuk menuntut ilmu lebih banyak lagi. Hal itu membuat saya termotivasi untuk mencari biaya.” Ujarnya.

Sang bapak terus mendengarkan Curhatannya, sambil ia sesekali mengelus dada karna kepedihan yang akan terjadi pada dirinya. Sang bapak kemudian menyuruh cia menghubunginya lagi. tetapi katanya dia masih sedang bekerja di dapur. lalu iapun mencoba menelpon melalui WA, memang benar hpnya tidak aktif. lalu beberapa saat kemudian kira-kira pukul lima sore, Iapun menelpon kembali karna terlihat Cia menerima pesan singkat dari seseorang. Ya memang benar, itu pesan singkat dari Yoel.

“Halo yoel, kamu sudah pulangkah?” tanya sang bapak.

“Belum pak.” jawabnya.

“Oh ya ni ada temanmu Cia datang, katanya mau pinjam gitarmu. Kok kamu gitu ya nak, nggak kasi tau bapak dulu. Kamu langsung suruh-suruh temanmu ambil barang sesukamu. Memang seh bapak tau itu gitarmu. Tapi kan tidak salahnya jika kamu telpon bapak dulu. Biasa kalo minta jemput pulang, kamu terus menerus-terusan menelpon bapak, sampai berkali-kali. ini giliran kawanmu mau pinjam barangmu kamu nggak kasih kabar sedikitpun ke bapak. tega kamu ya.” Sang bapak berbicara dengan nada emosi kepadanya. Karna sang bapak tahu jika selama ini Yoel selalu mengandalkan sang bapak saat ada kesulitan. Namun saat ada hal lainnya, sang bapak seakan-akan tidak dianggap. hal itu yang membuat sang bapak sedih.

“Bukan begitu pak, itu gitarnya saya pesan agar diantar ke kos, karna saya butuh hiburan.” Ujarnya dalam sambungan telepon. Lalu jawab sang bapak, “Masa begitu Wel, temanmu mau minjam barangmu kamu pinjami sedangkan bapak yang sudah berkorban banyak untuk kamu malah kamu cuek. Kami kan perlu juga belajar gitar itu. Ingat kita sama-sama membelinya saat itu.”

Dia terdiam sesaat, lalu ujar sang bapak lagi, “Kira-kira kamu mau meminjamkannya berapa lama? Seminggu, sebulan atau berapa lama?” Lalu jawab Yoel, “Selamanya aja pak.” Ujar sang bapak, “Tidak bisa, masa begitu. Bapak tidak mau meminjamkannya.” Lalu sahutnya lagi dengan sombongnya, “Baik kalau begitu hancurkan saja gitar itu pak.” Kemudian sang bapak menuju Cia, dan berkata “Bapak tidak dapat memberikannya padamu, karna Yoel sudah keterlaluan.” Lalu jawab Cia, “Baiklah Pak, kalau begitu saya permisi ya pak. Terima kasih.” Cia pergi dengan perasaan kesal, terlihat dari cara bicaranya dan Bahasa tubuh yang ia tunjukkan pada sang bapak.

Hari mulai gelap, suara azan magrib terdengar bersama rintik hujan. Hati sang bapak mulai tergores, karna anak asuh yang selama ini ia rawat ternyata telah berlaku curang. Dari gelagat gaya bicara yang disampaikan lewat sambungan telepon menunjukkan jika Yoel telah berlaku curang pada sang bapak. Mengapa dikatakan curang? Karena selama ini sang bapak yang perduli dengannya, malah tidak dihargai. Malah teman lama yang tidak andil dalam hidupnya yang diperhatikan. Dari situlah sang Bapak tahu jika Cia menjalin hubungan asmara, karna sesaat Cia bercerita, jika ia hendak memberi uang kepada Yoel jika menerima bantuan dana PIP yang diberikan oleh pemerintah. Selain itu, saat berbincang-bincang dengan Cia, Sang bapak sempat memotret Cia dan mengirimkan foto tersebut kepada Ibu Dewi Listi, seorang Polisi Wanita bekas istri Dokter Musa tempat Cia pernah tinggal saat diusir dari panti asuhan.

Ibu Dewi Listi mengatakan, jika Cia memang teman Yoel, serta Kong Wawa, Delvi, Tomas dan beberapa rekannya. Mereka sama-sama kabur karna telah melakukan hal buruk di Panti asuhan. Yang jelas ibu Dewi juga trauma kepada Cia dan Kong Wawa, yang telah menyebabkan retaknya rumah tangga mereka. Pikir sang ayah, “Jangan-jangan Antonius Wahyu terlibat juga dalam kasus ini.” Akan tetapi, setelah dikonfirmasi ke kakak panti ternyata Antonius Wahyu mengalami kasus biasa. Ikut-ikutan Yoel, sehingga ia kabur ke rumah salah seorang gurunya. Memang seh menurut curhatan dari pak guru, Yoel dan beberapa temannya pernah mencuri cincin milik Oma Panti. Saat itu Wahyu masih tinggal dengan pak guru, dan di sana jelas jika wahyu bercerita jika cincin itu dijual mereka melalui perantaraan asisten dapur sekolah. Yoel mengatakan jika cincin itu didapat ditepi jalan sehingga asisten dapur dan seorang guru lainnya tidak curiga jika barang itu ternyata hasil curian. Sang bapak juga sempat mengonfirmasi ke kakak panti jika Yoel seorang kleptomania alias suka mencuri. Dan hal inilah yang sempat membuat sang bapak syok, kala itu Yoel pernah masuk ke kamar almarhum ayahnya yang dikunci dengan kunci gembok. Lalu Yoel membuka pintu kamar dengan anak kunci lain, alasannya ingin mengambil uang untuk membeli kuota. Untung-untung yang memberi tahu itu Bong Se Khiu, salah seorang temannya yang juga tinggal bersamanya saat itu. Dari sinilah kekuatiran dan ketakutan sang bapak mulai muncul, iapun berkesimpulan jika sebenarnya Yoel itu memang anak yang bermasalah dan tidak beres. Apalagi setelah tahu jika info yang diberikan oleh Ibu Dewi, Kakak Panti, Bong Se Khiu dan Pak Guru memang akurat. Terbukti juga sang adik juga menderita penyakit kleptomania sehingga ia harus diusir juga dari panti dan dibawa oleh Leri ke rumah pak guru.

“Seandainya aku sadar dari awal, mungkin aku tidak akan membantumu nak. Bapak benar-benar menyesal. Semoga ini pelajaran berharga bagi bapak di lain kesempatan untuk tidak buru-buru membantu anak-anak yang memiliki kasus terpendam seperti itu.” Pikir sang bapak dalam hati, sembari meneteskan air mata.

Cerpen "TRAGEDI BERAS KUNING" Karya: Hendrasius Bahari.

 

TRAGEDI BERAS KUNING

(Karya: Hendrasius Bahari)

 

Malam itu sekitar pukul sembilan lebih empat puluh menit, hujan rintik-rintik membasahi rerumputan yang ada di halaman. Tiba-tiba, terdengar suara motor di halaman rumahku. Aku yang duduk termenung di dapur, bergegas mengejar sumber suara. Tenyata memang benar, itu suara motor milik Yoel yang diparkirkan di ujung halaman rumah. Aku melihat Yoel mengetuk-ngetuk rumah Pak Joni. Ia hendak mengembalikan sprayer yang dipinjam oleh Kak Ana Hotel, sekitar dua minggu yang lalu. Saat ia datang ke rumahku, untuk mengambil barang-barang milik Yoel.

Akupun memanggilnya, “Nak, singgahlah ke rumah, bapak rindu.”

Jawabnya dengan kasar, “Nggak, nggak, nggak sempat! Masih banyak urusan yang harus diurus. Lagian sudah malam begini, pemilik motor ini ingin segera motornya dibalikan. Jadi tidak ada waktu untuk urus kamu lagi, karna harus buru-buru pulang.”

Aku dengan perasaan sedih bergegas mendekatinya yang saat itu menuju motor yang ia pakai. Aku memohon dia untuk masuk sebentar ke rumah, untuk membahas masalah kepergian Letus dari rumahku. Namun ia bersikeras tidak mau. Akupun buru-buru mengambil kunci motor itu dan membawanya kabur ke dalam rumah. Seketika itu juga ia mengejarku dengan emosi.

“Kembalikan kunci motor itu!!!” ujarnya dengan nada bicara kasar.

“Wel, tolong duduk sebentar. Aku mau bicara.” Jawabku.

“Mau bicara apalagi! Semua sudah jelas. Bapak yang salah!” ujarnya.

“Maafkan aku nak, sebenarnya Letus sudah cerita apa kepadamu?” tanyaku.

“Sudah terlanjur! Kamu bilang dia malas, tidak mau kerja. Dia dapat informasi dari Yuyun. Ini saya buka japriannya.” Dia membuka japrian WA yang letus kirim padanya.

Ternyata, japrian percakapan itu telah dihapus oleh Letus. Karena beberapa hari lalu, Letus ingin minjam uang padaku sebesar Seratus ribu rupiah, alasannya untuk membayar baju batik sekolah. Dan aku mengatakan jika Letus telah berbohong, aku tidak mau membantunya lagi.

Jawabku, “Bagaimanalah bapak tidak menceritakan hal itu pada yuyun. Karna Yuyun yang bertanya tentang keadaan kalian di rumah bapak. Kamu juga tahu, setiap pagi bapak harus bangun jam tiga dini hari untuk mempersiapkan sarapan, lalu mengantar kamu jam setengah lima subuh ke tempat kerjamu di Hotel Swiss Bellin Singkawang. Lalu paginya harus berangkat mengajar, siangnya pulang. Sorenya jemput kamu lagi sehabis kamu bekerja. Sedangkan yang ain hanya main HP dan santai-santai saja di rumah. Memang ini hal yang menurutmu salah. Sedangkan kamu pagi-pagi malah main games dan tik-tokkan. Wajar saja kalua bapak jujur dengan Yuyun.”

Sahut Yoel, “Seharusnya bapak tidak berbicara dibelakang seperti itu. Kalua bapak tidak suka ya tegur langsung.”

Ucapku dengan rasa sedih, “Bagaimana mungkin bapak mau menegur kalian? Toh kalian tahu sendiri, bapak tidak bisa menegur kalian. Kalau ditegur, kalian merajuk. Hal ini malah akan membuat suasana semakin sulit, sehingga bapak yang tersakiti.”

Yoel terdiam sambil menampakan wajah penuh amarah.

“Maaf ya wel, saya tidak mengambil keuntungan dari apa yang telah ada padamu. Ingat, sampai saya korbankan waktu, tenaga dan uang saya untuk kamu. Mana ada orang yang mau berkorban seperti saya. Saya sampai korek-korek celengan untuk membeli bensin agar kamu bisa berangkat kerja ke Hotel Swiss Belinn Singkawang. Semua aku lakukan demi kamu. Kamu saya anggap sebagai anak, tidak lebih dari itu. Namun itukah balasanmu padaku. Jujur aku sangat sedih, terluka dan kecewa.” Ujarku.

Ujar Yoel, “oke! Kalau itu maunya kamu, dan kamu merasa rugi, ambil saja motor itu sebagai ganti kerugian yang telah kamu keluarkan untukku. Jujurrr aku tidak suka dengan semuanya ini. Aku sudah Lelah, kamu sama saja dengan orang panti.”

Sahutku sambal menangis pilu, “tidak! Itu bukan hakku. Motor Mio rusak begitu harus dijual? Siapa yang mau. Dan jangan sekali-kali menyamakan aku dengan orang panti. Ingat ya! Aku di sini tidak ada yang membantu, tidak ada orang yang mendonaturi, terkecuali hanya TUHAN yang memberikan rezekinya padaku. Kalau di Panti, itu semua donator yang menyumbang dan jangan sekali-kali samakan aku dengan mereka.”

Yoel berusaha mengambil kunci motornya padaku. Dia menarik tangan kananku, dia juga berusaha menarik kunci yang ada di dalam saku celanaku. Aku makin menangis sejadi-jadinya.

Aku merasa paling terhina kala itu. Air mataku jatuh bercucuran, saat aku dengar dia berkata, “Aku yang salah! Ya, aku yang salah! Seandainya aku waktu itu, tidak keluar dari Panti Asuhan Gloria maka kejadian ini tidak akan terjadi.”

Jawabku, “Tidakkkk, bukan kamu yang salah! Semua bapak yang salah! Bapak yang salah! Bapak yang salah! Bapak punca dari semua masalah ini. Bapak terlalu cerewet, terlalu menyayangimu, terlalu memperhatikanmu, semua serba terlalu. Sampai harga diri bapak, juga bapak korbankan untukmu, semua untukmu berharap agar kamu merasa bahagia. Tetapi kamu tidak bahagia.”

 

Sahut Yoel lagi, “Aku sangat kecewa dengan bapak. Bapak seperti anak-anak tapi sudah tua. Aku maluuu pak. Ingat pak! Aku selama ini berusaha membuat bapak tersenyum, meski sejujurnya aku hanya berpura-pura agar bapak tidak sedih.”

Ketika mendengar kata-kata itu, aku menangis sejadi-jadinya. Hatiku serasa ditusuk pedang, kepalaku serasa ditimpa batu besar, tubuh dan jiwaku serasa hancur luluh. Pengorbananku selama ini ternyata sia-sia, memang sia-sia dan membuahkan angin. Aku merasa tiada dihargai dan dianggap seperti sampah yang teramat kotor, seperti pepatah lama, rusak susu sebelanga karna setitik nila.

Dia tidak senang dengan apa yang telah aku lakukan. Hal itu memang aku akui, aku terlalu memanjakannya. Padahal aku melakukan semuanya dengan niat baik yang tulus agar dia merasa bahagia, apalagi aku menganggapnya sebagai anak. Jujur! Aku katakan padanya “Bapak anggap kamu sebagai anak sendiri, tidak lebih dari itu, demi TUHAN yang hidup.” sambil memegang beras kuning dalam mangkuk tanah dan menaburkannya ke atas dan ke samping.

Aku merasa bersalah karena telah salah memperlakukannya. Dia tidak ingin dimanja, tidak ingin diberi kasih sayang, tidak ingin diajak bercanda, tidak ingin diajak tertawa dan sebagainya seperti yang aku pikirkan. Dia ingin bebas, bebas keluyuran, bebas merokok, bebas ngegame, bebas pacaran, bebas tiktokan dan tidak mau dibimbing olehku lagi. Dia merasa lebih enak tinggal satu koss dengan Chef Rian, seorang sahabat barunya yang juga bekerja di Hotel Swiss Belinn Singkawang.

Memang ku akui, rumahku bukanlah tempat yang enak baginya, lagi pula aku bukanlah orang kaya yang beruang banyak. Aku juga bukan pegawai kantor yang bergaji besar seperti jabatan yang ia kejar dengan besaran gaji 3,5 juta rupiah perbulan. Sehingga hal ini membuat dirinya khalaf dengan uang yang besar karna selama tinggal di panti asuhan, dia tidak pernah memegang uang sebanyak itu.

Aku sadari selama dia di rumahku, aku hanya bisa membeli beras sekilo terkadang dua kilo, bahkan sesekali berhutang beras di warung Kak Eliana demi bisa makan. Aku juga harus membeli ikan asin kak Rosnah yang berjualan ikan di Kuala untuk mencukupi kebutuhan hidup.

Terkadang yang membuat aku lebih menangis, saat aku teringat harus berjualan singkong, buah kelapa, buah asam kueni, buah durian, memasak daun singkong, dan batang pisang. Semua ini demi kebutuhan perut. Kadang, untuk makan dagingpun kami harus menunggu ada orang yang mengundang di acara kenduri, barulah kami bisa makan daging dan masakan yang enak.

Namun itulah kenyataan yang harus aku alami. Aku memaksakan diri untuk menghidupi anak orang, namun anak tersebut tidak pernah berpikir bagaimana penderitaanku yang sesungguhnya. Aku harus bergelut dalam pikiran dan hidup.

“Pak, kembalikan kunci motor itu. Itu motor orang pak!” sahutnya lagi.

Jawabku, “Ndak, bapak belum mau kamu pulang dulu.”

“Oke kalau begitu, saya hancurkan barang berharga bapak!” ancam Yoel padaku.

Jawabku, “Silahkan, nanti kamu yang akan ganti.”

Lalu ia mengambil hape miliknya dan menelpon Kak Ana, seorang pegawai Hotel Swiss Belinn Singkawang yang pernah menjadi istri dari anak pengurus panti. Kak Analah yang menjadi biang kerok selama ini, telah membujuk Yoel agar dia keluar dari rumah kami.

Selama ini dia berharap agar Yoel tinggal dengannya, membantu dia di rumah. Aku sempat mendengar Yoel waktu itu bercerita jika Kak Ana meminta Yoel untuk mencuci peralatan dapur di rumahnya, membantu membersihkan rumahnya. namun Yoel tidak mau dan lelah sehabis bekerja. Selain itu, Yoel juga mengatakan jika Kak Ana seorang yang jorok dan pemalas dan suka selingkuh manalah suaminya tidak berlaku kasar padanya. Aku tidak mau mengatakan hal itu pada Kak Ana, biar suatu hari kak Ana sendirilah yang tahu kebenaran yang sesungguhnya.

Diapun menelpon dan berkata, “Kak Ana, dia nggak mau memberikan kunci motor. Gimana neh kak.”

Lalu sahut Kak Ana dengan nada kasar, “mana dia, mana dia Wel? Kakak mau ngomong dengannya.”

Yoel pun mengambil hape dan menaruhnya di depanku dengan speaker dikeraskan.

Ujar suara dalam hape, “Tolong berikan kuncinya, besok Yoel masuk jam Empat subuh. Tolonglahhh!”

Lalu Yoel berbicara lagi, “Dia masih nggak mau kak.”

Kata suara itu, “Panggil Pak Joni, biar Pak Joni yang minta.”

Yoel bergegas keluar dari dapur menuju rumah Pak Joni, lalu akupun segera mengambil beras kuning dan menabur-naburkan ke atas kepalanya. Dia berlari, akupun juga makin mengejarnya dengan beras kuning itu. Lalu akupun memberikan kunci motor itu sembari air mata dan kesedihan membanjiri wajah dan hatiku.

Aku keluar dari rumah, lalu berjalan tiga langkah dan menginjak bumi tiga kali. Aku memanggil sumangatnya, kemudian aku melemparnya dengan beras kuning lagi. Aku terus melemparnya dengan beras kuning agar dia sadar, tenang dan setan jahat yang ada dalam jiwanya keluar. Namun, itu malah membuatnya semakin khalaf. Ia mengambil pasir dan melemparkannya ke arahku. Dia mengamuk, “Sini kau! biar ku lempar kau dengan batako ini!” Dia berteriak-teriak di halaman dan ingin melemparku dengan batako yang ada di depannya.

Tiba-tiba Pak Joni keluar dari rumah dan menemuinya, seketika itu iapun diam. Dia menceritakan sesuatu hal yang mungkin telah menyakiti hatinya kepada Pak Joni. Pak Joni berusaha menenangkannya dan iapun pulang ke Singkawang. setelah dia pergi, akupun mengatakan ke Bu Ais, jika aku menyesal, sangat menyesal telah membantu dia. Aku tak mau lagi mengenal dia. Adiknya Esel dan Sahabatnya Akiu ada bersama Bu Ais mendengar aku berbicara begitu.

 Hatiku hancur berkeping-keping, saat aku mengetahui sifatnya yang sesungguhnya. Meski sebelumnya Kakak Gloria sudah memperingatkanku, jika aku harus waspada dan berhati-hati terhadapnya.  Dia seorang yang keras kepala, tidak tahu diri, tidak tahu berterima kasih, sering berbicara jorok dan cabul, lebih parahnya ia seorang kleptomania. Aku tidak langsung mengindahkan peringatan tersebut, yang sesungguhnya harus aku waspadai sebelumnya.

Aku mengerti ketakutan yang kakak gloria sampaikan, karna ia perduli padaku. Awalnya aku pikir, Dia sudah berubah, karena rajin aku ajak berdoa dan membaca firman Tuhan. Namun ternyata itu hanya kedoknya saja, dia semakin menjadi-jadi. Pernah sekali ia bercerita padaku, jika di tempat ia bekerja, ada seorang yang bernama Bang Aliong suka menonton film Bokep, Pak Gede yang juga seorang chef yang pindah ke Batam suka memegang kelamin sambil bergaya seperti monyet. Di rumah ia menirukan hal tersebut di depan saya dengan gayanya yang kocak. Dia sempat berkata dia ingin seperti mereka di sana, sama-sama joroknya. Hal itu yang membuat aku syokk berat.

Hal itu yang sebenarnya membuat aku ketakutan. Dan ketakutan itu malah menyadi kenyataan kala aku harus kehilangan kakak sepupu tercinta. Sempat saat sebelum pertengkaran itu terjadi, aku menanyakan keadaannya pada seorang Paranormal katanya, “Kamu harus berhati-hati kalau sebenarnya anak-anak itu memanfaatkanmu. Mereka tidak menyayangimu, mereka menjadikanmu sebagai batu loncatan.” Hal itulah yang membuat aku trauma seumur hidup menampung anak-anak bermasalah, yang tidak jelas niat dalam hatinya. Semua itu pelajaran bagiku agar aku tetap menjadi orang yang baik, meski selalu tersakiti seperti menjaring angin.

 

“Andai aku bisa memutar waktu, aku tak ingin mengenalmu. Mengapa ada pertemuan itu, yang membuat aku menjadi pilu.”

Puisi Ngauk Kapalo karya Hendra Bahari Singkawang 2024

 Ngauk Kapalo (Hendra Bahari Singkawang)   Nanang mato ka oncok bukit, Maok ijook gaik taraboh, Antoh mato dameo, Mato urok taraboh, Ka puhu...