Mengenai Saya

Foto saya
Singkawang, Kalimantan Barat, Indonesia
Saya berasal dari Singkawang Kalimantan Barat. Saya anak Suku Dayak Salako Garantukng Sakawokng. Saya cinta perdamaian. Saya cinta Indonesia.

Kamis, 31 Agustus 2023

PUISI "KUMBANG KU, MANA?" Karya Hendra bahari Singkawang

 

KUMBANG KU, MANA?

 

                       Asak hatimu dariku,

         Karna kumbang gemuk,

Ukir cerita pada bui hati.

 

Hela nafas menantang badai,

          Anjar dilempar dari kapal,

                    Nyatalah kumbang terbirit-birit,

                                Yojana hati telah binasa,

                                            Anyang tersaji tak enak di lidah.

 

             Buncah pikiranku,

Ingat kumbang yang pergi,

             Silu hatiku,

Anyir hidupku.

 

                                   Dalam diam hati berkecamuk,

                             Ikrar telah kau khianati,

               Apalah daya kumbang lain,

Menculik dia yang terkasih.

 

Pakunam, September  2019

 

PUISI "MERDEKA SANG PENA"

 

MERDEKA SANG PENA

 

Pena Intan berkilau bersama berkibarnya Sang Saka,

Elok dan gagahnya Garuda Emas tiada tertandingi, mengitari langit Nusantara.

Ntah berapa lama? Namun, kemilau itu tidak akan sirna bersama sayap-sayap tembaga,

Di tengah carut-marutnya dunia Pendidikan, tertuang tinta hitam di atas kertas putih,

Itukah gerangan? Apakah maksudnya? Ia hanya mampu berhela nafas.

Di masa ke-78 tahun, hengkangnya Kaum Penjajah di Bumi Pertiwi.

Inikah Pena Intan yang bertinta Emas?

Kau keliru, sangat keliru, itu keliru.

Antara Merah dan Putih, tersimpan titik Hitam siap mengikis Nusantara,

Namun janganlah kau kira, itu baik-baik saja.

 

Meradangnya Pena Intan yang berkilauan,

Enggan berkata, memilih diam.                               Membisu seribu bahasa pada Sang Saka,

Renggang, hampir putus!                                                  Pena Intan tetaplah perjuangan tanpa tanda jasa.

Dengan Pena Intan yang mulai rapuh.                                          Engkau kobarkan taring emasmu,

Engkau luluhkan carut-marut.                 Dunia Pendidikan yang hampir kelam.

Kau keliru! Kau keliru! Kau sangat keliru!

Anggapan kau goreskan di tengah keelokan garuda Emas, hanyalah kekecewaan.

 

Kemerdekaan akan terus ada, meski Sukma Pena Intan meradang,

Akan kembali tinta Pena Intan dalam Sanubari Pejuang Tanpa Tanda Jasa,

Nan menghiasi pengabdiannya di tanah Nusantara.

 

 

Karya: Hendrasius, S.Pd.

Pakunam, Singkawang, Kalimantan Barat.

"Antu Pugohok Tungkatn Nek Nongan" Cerita Rakyat Dayak Salako Garantukng Sakawokng, Pakunam, Sijangkung, Kecamatan Singkawang Selatan, Kalimantan Barat

 

Antu Pugohok Tungkatn Nek Nongan

Alkisah ada seorang nenek bernama Nek Nongan. Ia tergolong Awo Pammo (Makhluk Halus) yang tinggal di bulan, namun sesekali waktu berkeliaran ke alam manusia. Kala itu, taino (manusia) dan hantu hidup babaikotn (bersahabat). Mereka hidup saling tolong menolong, meski memiliki alam yang berbeda.

Nek Nongan memiliki kaki yang panjang, bongkok, rambutnya putih, jari tangannya berjumlah sebelas dengan kuku-kuku yang tajam. Ia gemar nyirih dan nginang, yaitu mengunyah daun sirih yang dicampur dengan pinang, kapur dan gambir layaknya nenek-nenek tua di alam manusia.

Ia mempunyai sebuah tungkatn (tongkat) yang selalu dibawa pada saat bulan purnama ataupun gerhana bulan. Ia turun ke bumi dengan tongkat itu, untuk mencari benda-benda yang bercahaya.

Suatu hari di Bantang Pakunam tersiar kabar, jika malam bulan purnama akan tiba. Purnama yang jatuh pada bulan keempat dalam sistem penanggalan subsuku Dayak Salako Garantukng Sakawokng,[1] atau bulan lima pada penanggalan Masehi. Waktu tersebut merupakaan saat bagi Nek Nongan untuk turun dan berkeliling ke Taino (Alam manusia).

Kabar kedatangan Nek Nongan ke dunia manusia, tersiar ke seluruh kampung. Hal ini membuat warga bersiap-siap untuk menyambut kedatangannya dengan ritual. Ritual dilakukan sehari sebelum datangnya bulan purnama. Ritual dilakukan agar Nek Nongan tidak mengganggu warga yang ada di bantang (rumah).

Ucap warga bernama Nek Tarukupm, "Ando gek kitok nangar barito, kadek Nek Nongan mok atokngok?" (Apakah kalian ada mendengar kabar, jika Nek Nongan akan datang?)

Jawab Nek Gonde, "Auk gek. Aku i-nok nahuik kè. Kadek jako, ampagi jeklah dirik basiapm-siapm book. Babo dangan ampus ka Padagi." (Iyakah, Kok saya tidak tahu. Kalau benar begitu, ayo besok pagi kita mempersiapkan ritual besam-sam[2]. Ajak orang-orang pergi ke tempat pemujaan.)

Ujar Nek Tarukupm,"Oh auklah, ame kaupootn kitok matakik nang laine bouh." (Oh iyalah, jangan lupa mengabari yang lainnya.)

Mendengar kabar tersebut, warga bergegas menyiapkan berbagai bahan ritual booķ. Mereka bersama-sama mempersiapkan bahan sesajian yang akan dibawa ke Padagi. Padagi merupakan tempat pemujaan yang berada di atas gunung. Gunung dipilih sebagai tempat pemujaan, karena jaraknya dekat dengan langit. Di atas langit ada Matahari dan Bulan. Di sana juga ada Jubato yang akan melihat, mendengar, dan berbicara kepada manusia.

Berkatalah Nek Ayok, "Kitok arus ngomo'an sagale parabutn boh. Parabutn-parabutn anyian kitok gagouk ka dopm utotn." (Kalian harus mengumpulkan segala bahan keperluan ritual. Semua keperluan itu harus dicari di dalam hutan.)

Sahut Nek Jamang, "Dameo ajok parabutn nang mok kami siapotnok kowo?" (Apa saja bahan keperluan yang harus kami persiapkan?)

Kata Nek Ayouk, "Dangar bouh, anyian parabutn nang arus kitok siapotn: ui dodokng, daukng tumiang, daukng i-nyarupm, tabo-òkng, daukng inyuokng, daukng jarikng, paku, saputn putih. Abu gak e kitok siapotn, i-paamas ka dopm pingotn ato gek kadutn. Gonenganik sagale parabutn kowo ka gapakng pintu. Ame kaupootn aik panawar nang i-ngicok dai padagi kowo sak nawarik nyo oo. Akok angko siapotn gak ee paantarotn kadopm pingotn nang isik e karakek, pinang, gamer, kapur, timako i golong ngan daukng nipoh, paku, baras diisinsik ka pingotn ko tai. Sagale timako nang i-golong kowo i-tohanik ka atas baras kowo ba paku. Ame kaupootn ngamuat tumpik, poek ngan bontouk."

(Dengarlah baik-baik, inilah bahan keperluan ritual yang harus kalian siapkan: rotan hutan, daun bambu tamiang, daun i-nyarupm, tabo-òkng, daun injuang, daun jengkol, paku, kain putih. Kalian juga harus menyediakan abu yang dimasukkan ke dalam piring atau bungkusan kain  kecil, gantung semua bahan tersebut di palang pintu. Jangan lupa air penawar yang telah diambil dari tempat penyembahan sebagai air penawar. Selain itu siapkan juga sesajian yang berisi sirih, pinang, gambir, kapur, tembakau yang digulung dengan daun nipah, paku, beras disi didalam piring tersebut. Semua tembakau yang telah digulung bersama daun nipah ditaruh di atas beras bersama paku. Jangan lupa membuat kue cucur, lemang tradisional, dan kue nasi lepet.)

Setelah mendengar arahan yang disampaikan, merekapun bergegas menyiapkan segala kebutuhan. Mereka bergotong-royong pergi ke  hutan, mencari tanaman dan beberapa kebutuhan ritual. Ada pula yang berada di rumah membuat makanan adat dan masakan yang akan di sajikan selama ritual berlangsung. Semua kegiatan dilakukan dengan semangat.

Saat yang ditunggupun tiba; Warga memagari rumah masing-masing dengan ui dodokng (rotan hutan), dan menggantung beberapa alat peraga adat di depan rumah. Mereka melarang anak-anaknya untuk keluar dari rumah, baik siang ataupun malam. Selain itu, anak-anak juga diingatkan agar tidak membuat kegaduhan di dalam rumah, selama tiga hari dua malam. Mereka mengunci rapat pintu rumah, agar tidak ada yang masuk ataupun keluar.

Selama ritual booķ dilaksanakan, Nek Nongan berkeliling di sekitar rumah. Ia akan mengambil benda-benda yang bercahaya ataupun mereka yang berada di luar rumah. Namun, jika ia melihat tanda yang digantung di depan rumah, maka ia akan melewati rumah tersebut. Ia mengira rumah itu sepi, gelap dan tak berpenghuni.

Seorang Ibu berkata pada anaknya, "Namaam buotn tarokng, kitok ame mamain ka uwas. Tēk-tēk Nek Nongan tabanan kitok ka buotn." (Nanti malam bulan bersinar terang, kalian jangan bermain di luar. Kalau-kalau Nek Nongan bawa kalian ke bulan.)

Sahut anaknya,"Auk gek mak? Aku gaik oo kadek jako. Pulak aku gaik ka antu." (Ya kah bu? Aku takut kalau begitu. Karena aku takut dengan hantu.)

Ujar Sang Ayah "Batol sidi ko, jare mamak. Nek Nongan koo pane tarabokng, kamae kitok dariok kadek se gelah boh." (Benar sekali apa yang ibumu katakan.)

Nek Nongan senang kepada benda yang bercahaya. Karena kesenangannya, tak heran jika ia selalu menangkap kunang-kunang yang berterbangan di langit. Selain itu, ia akan mengejar benda-benda yang bercahaya apalagi benda tersebut dapat mengeluarkan sinar kemilauan.

Nek Nongan berjalan mengitari kampung, sambil berkata, “Akú maók ngaguók agík jukutn nang ando baoé. Hihiihiihihi.” (Aku akan mencari lagi sesuatu yang ada cahayanya. Hihiihiihihi.)

Nek Nongan memang makhluk halus yang sakti. Dengan sekejap mata, ia telah berada di tengah perkampungan.

Tak jauh dari situ, ada satu keluarga. Nek Tanggurakng itulah kepala keluarganya. Ia memiliki seorang anak gadis yang masih perawan. Rumahnya terlihat gelap dan sepi. Nek Nongan hanya melihat tali rotan yang terikat di depan rumah. Iapun tidak masuk ke dalam, hanya berkeliling di sekitarnya saja.

Hal aneh terjadi pada anak gadis itu. Ia merasakan perutnya sakit. Lalu berkata pada ibunya, “Adék ooo mak, parutku nyian sakit sidì.” (Aduh bu, perutku sakit sekali.)

Jawab ibunya, "Dameo nak? Parutngu sakit gek? Cobo gih nyocokng aik garopm ka dapur." (Ada apa nak? Perutmu sakit? Cobalah minum air garam ke dapur.)

Ia berkata lagi, "Aku dah i-nok tahan mak a. Aku mok barihook." (Aku sudah tidak tahan bu. Aku ingin buang air besar.)

Ujar sang ibu, “Kadek jako, kau ampus ajok ka dopm utotn naun gih, barihok dohok.”(Kalau begitu, kamu pergi saja ke hutan, buang air besar dulu.)

Karena merasa sudah tidak mampu menahan, iapun buru-buru mengambil obor dan pergi menuju hutan. Di sana, ia mencari tempat yang tepat untuk buang air besar. Dengan tangan memegang obor, Iapun duduk di bawah sebatang pohon yang rimbun.

Ujar gadis itu, “Adenek, puhutn kayu nyian tang kayouk sidi, ando gek auk barampuk o-sio? Maap bouh nek kadek aku ngotorik tampat kitok anyian, barang jok aku dah i-nok tahan sidi.” (Aduh, pohon ini besar sekali, adakah penunggunya di sini? maafkan aku jika telah membuat kotor tempat ini, karna aku sudah tidak mampu menahan rasa sakit perutku.)

Tiba-tiba Nek Nongan melihat seberkas cahaya dari kejauhan. Iapun berkata, “Hi, hi, hi.... Kodéh ando ba báo búotn.” (Hihhiihii.... Itu ada cahaya bulan.)

Iapun mendatangi sumber cahaya yang tak lain adalah obor sang gadis.

Tanpa disadari oleh sang gadis, Nek Nongan sambil memegang tongkat sudah berada tidak jauh dari hadapannya. Melihat cahaya yang terang benderang, Nek Nongan tertawa keras sambil mengetuk-ngetukkan tongkotnya ke tanah sambil tertawa, “Hihihihi.... Kodeh bao buotn, sidi nang anyian bao buotn. Aku maok nangkapok iyo.” (Hihihiihihiihi.... Itu cahaya bulan, benar-benar ini cahaya bulan. Aku mau menangkapnya.)

Terdengar bunyi tongkat Nek Nongan, “Tunk hak, tunk hak, tunk hak.” (tung hak tung hak, tung hak.)

Bunyi tersebut, membuat bulu kuduk Sang Gadis merinding. Ujar gadis itu sambil ketakutan, “Adanok, munyi ameo kowo. Adek adah, angkowokan munyí antu.

(Aduh, suara apa itu. Ya ampun, itukan suara hantu.)

Tiba-tiba Nek Nongan mengarahkan tongkatnya ke arah obor, dan mengenai obor itu. Dia sangat terkejut, saat melihat seorang nenek tua berada di depannya. Iapun berteriak, “Antuuuu.” (Hantuuuu).

Ujar Sang Gadis, “O Nek, Dameo kitok nyojo colopku nyian? Ameo salohku ka kitok? tang kitok jako magaiik aku.” (Hai nenek, Mengapa nenek menusuk oborku? Apa salahku kepadamu? kenapa nenek menakutiku.)

Lalu Nek Nongan pun berkata kepada gadis itu, “Aku Nek Nongan. Aku agik bagagouk jukutn nang ba bao. (Saya Nek Nongan. Saya mencari benda yang bercahaya.)

Diapun langsung menunjuk ke arah obor yang ada di tangan Sang Gadis. Seketika itu, Sang Gadis meniup obornya, lalu berseru, “Antu Pugohok, antu Pugohok kodeh nangkapok aku.” (Hantu Pugohok, ada hantu Pugohok ingin menangkapku.)

Gadis itu lari ketakutan untuk menyelamatkan diri sambil memegang sebuah obor yang telah padam. Nek Nongan dengan tongkatnya berusaha mengejar, namun gagal. Akhirnya gadis itu selamat hingga sampai ke rumah.

Sejak kejadian yang dialami oleh sang gadis, penduduk dikampung itu tidak lagi mengijinkan anak perempuannya untuk keluar pada malam hari, terutama pada saat bulan purnama. Mereka takut jika mereka kelauar maka akan ditangkap oleh nek Nongan.

Selain itu, mereka juga tidak lagi membuang hajat di sembarangan tempat karena telah bisa membuat johotn (kakus) di dekat bantang-bantang mereka. Hal ini dimaksudkan, agar tidak terjadi hal buruk terhadap anggota keluarga mereka, terutama pada saat akan membuang hajat pada malam hari.

***

Sumber Cerita:

Adriana Tinting anak Mincai binti Loson (Usia 48 tahun).

 

 

NILAI PENDIDIKAN KARAKTER:

Dari cerita yang berjudul Antu Pugohok Tongkat Nek Nongan, nilai pendidikan karakter yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu: rasa keingintahuan dan kepenasaranan, kerjasama, kecerdasan, panjang akal, menghargai diri sendiri, mawas diri, kepedulian, kritis, perhatian, menjaga lingkungan.

PESAN MORAL:

Dari cerita yang berjudul Antu Pugohok Tongkat Nek Nongan, terdapat pesan moral yang dapat kita resapi dan hayati, yaitu:

1.     Setiap orang harus bisa hidup berdampingan dengan makhluk lain selain manusia itu sendiri;

2.     Setiap orang harus siap sedia terhadap hal yang mungkin terjadi sewaktu-waktu;

3.     Orangtua berkewajiban untuk menjaga dan melindungi anak-anaknya dari hal-hal yang dapat mendatangkan mara bahaya;

4.     Setiap orang harus cerdas, mampu berinovatif dan kreatif dalam segala situasi;

5.     Setiap orang harus menggunakan akal dan pikirannya dengan baik agar tidak muncul persepsi negatif;

6.     Setiap orang harus bisa menjaga kebersihan dan kesehatan dengan cara memelihara diri, keluarga, masyarakat dan lingkungan alam.



[1]) Subsuku  Dayak berbahasa Badameo di wilayah Singkawang.

[2]) Ritual pada subsuku Dayak Salako Garantukng Sakawokng.

Cerita Rakyat Sakawokng (Singkawang, Kalimantan Barat) berjudul "Nek Panggoh Ka Bukitn Rubotn"

 

Nek Panggoh Ka Bukitn Rubotn


Alkisah dahulu kala di Bantang Rubotn (Roban) ada seorang Pamabore[1] bernama Nek Panggoh. Ia mempunyai seorang istri bernama Nek Ampopotn. Selain itu, ia juga memiliki dua orang anak laki-laki, bernama Kampotn dan Ambotn.

Pamabore adalah orang yang membantu mengobati orang yang sakit.  Dalam hal ini, Nek Panggoh merupakan pamabore kenekng yakni mengobati penyakit yang ringan menggunakan media baroõtn (semangkuk bara api) dan sepotong kemenyan putih. Kegiatan itu dilakukan pada sore hingga malam hari.

Sebagai seorang Pamabore, Nek Panggoh telah banyak membantu orang yang sakit. Ia memanterakan asap baraan dan nyau’otn[2] asap baraan tersebut, pada sekeliling tubuh orang yang sakit. Selain itu, ia juga menggunakan air tawar sebagai penawar penyakit. Air tawar, berupa segelas air putih yang juga dimanterakan. Sebelum diminumkan kepada pesakit, sedikit air itu diletakkan di ujung-ujung jari tangan, lalu ditepuk-tepukan di atas ubun-ubun sebanyak tiga kali, kemudian diminumkan pada orang yang sakit sebanyak tiga teguk dan sisanya diminum untuk keesokan harinya.

Kadang kala, Nek Panggoh juga menggunakan daun sirih sebagai media penggobatan. Ia mengunyah daun sirih lalu mengusapkannya ke badan, kaki, dan lengan pesakit. Lalu orang yang sakit itu, ia beri minum yang di dalamnya terdapat beberapa irisan kunyit yang dimanterakan. Semua penyakit dapat disembuhkannya ritual tersebut.

Sebagai seorang pamabore, Nek Panggoh wajib mengetahui beberapa jenis tanaman yang digunakan sebagai penawar penyakit. Tanaman-tanaman obat tersebut, diracik menjadi ramuan herbal yang dapat diminum sebagai penawar. Tidak heran jika sewaktu-waktu, ia pergi ke hutan mencari ramuan tanaman yang akan diracik sebagai obat tradisional.

 Suatu hari, Nak Panggoh mengajak kedua anaknya mencari ramuan obat ke hutan. Ia pun berkata pada anak-anaknya, "Ari nyian bapok maok ampus ka dopm utotn, bagaguok sagale dauk kayu sak tatamoõk.” (Hari ini bapak akan pergi ke hutan, hendak mencari dedaunan tanaman untuk obat-obatan.)

Jawab anaknya, "Auk gek pok, kami muih ampus gak e gek pok? (Ya kah pak, kami boleh ikut juga kah?)

 Sahut Ayahnya lagi, Muih boh, pi kaniok kitok arus basiapm-siapm dohok. Amouk kitok, udoh inuk nyiapotn ka dapur.” (Bolehlah, tapi sekarang kalian harus bersiap-siap dulu. Semua perbekalan kalian telah disiapkan ibu di dapur.)

Keduanya bergegas menuju sang ibu yang berada di dapur. Berkatalah Si Ambotn pada sang ibu, "Nuk, bapok nabananok kami ampus ngaramu ka dopm utotn.” (Ibu, ayah mengajak kami meramu tanaman ke hutan.)

Lalu sang ibu menjawab, "Ampuslah ba bapok. Tuukngik iyo ngagouk sagale daukng sak ngamuatn tatamo. Kadek anok nahuik, kitok batanyok jok ka iyo.” (Pergilah bersama ayah. Bantulah ia mencari  dedaunan yang akan diracik menjadi obat. Seandainya kalian bingung, kalian bisa bertanya kepada kepadanya.)

Ujar Si Ambotn, "Auklah nuk o kadek jako. Kami maok nunaanok bapok.” (Baiklah bu kalau begitu. Kami akan pergi bersama ayah.)

Sahut ibunya lagi sambil memberikan bungkusan yang berisi singkong bakar kesukaan kedua anaknya, "Inuk dah nyiapotn amouk sak kitok nano. Ame kaupootn imakotn boh.” (Ibu sudah menyiapkan bekal untuk kalian nanti. Jangan lupa dimakan.)

Jawab anaknya, “Auk Nuk oo.” (Ya bu.)

Ujar Ibunya lagi,Oh auk, kadek ka dopm utotn, kitok iyak kitok ngingis. Kitok ame bakato nang inok sinonoh, iyak ngacuik jukutn nang endoh. Kitok iyak mamain jauh dai bapok. Tabanan gak e Si Pogotn, asuk dirik sakng ngayukngik kitok.” (Oh ya, seandainya berada di hutan, kalian tidak boleh nakal. Kalian tidak boleh berbicara yang jorok, tidak boleh mengganggu sesuatu yang aneh. Kalian jangan bermain jauh-jauh dari ayah. Bawalah Si Pogotn, anjing kita untuk menemani kalian.)

Setelah mendengarkan nasehat dari sang ibu, lalu keduanya mengambil perbekalan yang telah disiapkan. Mereka sangat gembira, karna akan berangkat ke hutan bersama sang ayah. Sang ibu tersenyum, kala melihat kedua anaknya yang masih kecil itu, bertingkah lucu dan mengemaskan. keduanya terlihat menggandeng tangan sang ayah, yang dipunggungnya terdapat ojotn[3]. Mereka segera berangkat, menuju hutan bukitn  rubotn.[4] Salah satu bukit yang menjulang tinggi di bantang Sakawokng[5].

Di bukit itu, ada berbagai macam jenis tanaman obatan yang sangat bermanfaat untuk dijadikan tatamo (ramuan). Tanaman itu seperti binahukng (binahong), tamar basi (tamar besi), nubiik (sejenis tanaman obat), babeak[6], daun pancagetn, tampar antu, kataker, daun bangkire (bangkirai), pasak bumi (sejenis tanaman obat), kulit batang kueni (asam kweni), daun bintawok (bentawak), dan sebagainya. Tanaman-tanaman itu nantinya akan diracik sebagai ramuan untuk menyembuhkan penyakit.

Saat diperjalanan, Si Ambotn bertanya pada ayahnya sambil menunjuk ke arah sebuah bukit, "Pok, angko bukitn ameo gek?” (Ayah, apa nama bukit itu?)

Jawab sang ayah, "Angko damoe bukitn rubotn, kanaunlah dirik ampusok. Ando manyak daukng tatamo i-naun.” (Itu namanya bukit Rubotn. Di sanalah tempat yang akan kita tuju. Ada banyak tanaman obat di sana.)

Ucap Si Ambotn dengan wajah ceria, "O, jako gek pok.” (Oh begitu ya ayah.)

Jawab Sang ayah, “Auklah.” (Ya lah.)

Tak henti-henti keduanya bertanya pada sang ayah, tentang hal-hal yang belum pernah mereka lihat dan ketahui.

Tatkala mereka berbincang-bincang diperjalanan, tiba-tiba terdengar gonggongan Si Pogotn dari kejauhan, "Gukk, gukk, gukkkk."

Kata Si Ambotn, “Pok, asuk dirik nyaakng. Ameo auk nang se nyak kowo? Jek dirik nanang iyo.” (Pak, anjing kita menggonggong. Apa ya, yang digonggongnya itu? Mari kita melihatnya.)

Kata sang ayah, "Jek nakng dirik kanaun.” (Mari nak, kita ke sana.)

Mereka bergegas menuju tempat anjing itu menggonggong. Sang Ayah lalu, "Ninnnn, ameo nang kau nyakngik kowo?” (Ninnn, Apa yang kamu kejar itu?)

Anjing itu terus menggonggong, ia seperti melihat sesuatu yang aneh di dalam semak belukar. Lalu Nek Panggoh menyambangi semak belukar itu, tiba-tiba bulu kuduknya berdiri dan merasakan hal yang sangat aneh. Ia mendengar suara rintihan yang menyeramkan di balik semak-semak itu. Alangkah terperanjatnya, tatkala melihat sesosok makhluk bertubuh besar, berbulu hitam dan lebat. Makhluk itu terbaring lemah di dalam semak dekat pohon kayu aro[7].

Melihat hal itu, Nek Panggoh berusaha mengalihkan perhatian dari kedua anaknya. Hal itu dilakukan, agar mereka tidak cemas dan panik, apalagi jika mengetahui ada makhluk yang menyeramkan di dekat mereka berada.

         Ujarnya dalam hati, "Deh, ameo gek jukutne anyian? Adenek, bukotn gek angko kan antu Aboh. (Wah, apa ini? Ya ampun, bukankah itu hantu Aboh.)

Iapun segera menyuruh kedua anaknya untuk menyingkir ke belakang kira-kira lima puluh meter dari tempatnya berada.

Ujarnya, “Nak, kitok dai dohok boh. Bapok mok nanangok jukutn naun dohok.” (Anak-anak, kalian menyingkir dulu ya. Ayah akan melihat sesuatu yang ada di sana.)

Kemudian, ia bergegas kembali semak belukar itu, ia menghampiri sosok mahkluk berbulu hitam lebat sedang terbaring di semak-semak belukar.

          Berserulah Nek Panggoh dengan sedikit was-was, "Siape gek kitok anyian? Ameo bo nang tajadi i-sio” (Siapakah gerangan anda? Apakah gerangan yang terjadi di sini?)

Lalu makhluk itu bergerak perlahan seakan tak berdaya dan berkata, "Oo taino,maok gek kau nuukngik aku? Aku kaparotn sidi karamu dah imo ari inok makotn. Tubuhku lamoh, tuokngku basakitatnik, ju aku anok as agik bagarakok.” (Wahai bangsa manusia, maukah kamu membantu aku? Aku sangat lapar karena sudah lima hari tidak makan. Badanku lemah, tulang-tulangku terasa sakit, aku tidak mampu lagi untuk bergerak.)

Suaranya terdengar lemah, namun terdengar kemana-mana, hingga ke telinga kedua anak Nek Panggoh, yang bersembunyi di balik semak tak jauh dari tempat itu. Kedua anaknya ketakutan, mereka hanya bisa terdiam sambil memeluk takin sang ayah, sedangkan anjingnya terus saja menggonggong di samping sang ayah yang menemui makhluk aneh itu.

Sahut Nek Panggoh, "Oh, antu aboh, aku inok bahato pamangkanana nang nyaman. Aku kahe bahato banuok tunu. Angkopun anuk kamudokku. Aku kahe biso ngamek kau sadikitn jok.” (Wahai raksasa, aku tidak membawa makanan yang enak. Namun aku hanya membawa singkong bakar, itupun bekal anak-anakku. Aku hanya bisa memberimu sedikit saja.)

Lalu jawab itu, "Ameopun nang kau amek, aku maok. Soale aku kaparotn sidi.” (Apapun yang kau berikan, aku mau. Karena aku sangat lapar.)

Sahut Nek Panggoh, "Anti’otn dohok boh! Aku ngicangan kau dohok.” (Tunggulah sejenak! Aku akan membawakannya untukmu.)

Nek Panggoh mundur beberapa langkah ke belakang, lalu berputar seratus delapan puluh derajat ke arah anak-anaknya bersembunyi. Di pinggangnya tergantung sebuah tangkitn[8] yang sewaktu-waktu digunakan untuk melindungi dirinya.

Iapun berkata pada anak-anaknya, "Nak, muih gek bapok mintok sadikitn amouk kitok?” (Nak, bolehkah ayah minta sebagian bekal kalian.)

Bertanyalah Si Ambotn pada ayahnya, "Sak ameo ook pok?” (Untuk apa ayah?) Ia mengambil bekal yang ada di dalam takin, lalu memberikannya pada sang ayah.

Ujar Ayah, "Kitok ame gaik bouh, karamo i-naun ando urokng nang palalu bantuotn dirik. Saparo amouk anyian, bapok bareatnok ka iyo, karamo iyo dah amper baro.” (Kalian tidak perlu takut, karna di sana ada seseorang yang sedang membutuhkan pertolongan kita. Sebagian bekal kalian akan ayah berikan padanya, karena dia sangat kelaparan dan hamper pingsan.)

Jawab Si Ambotn, "Icokng sajok pok oo. Ame’otn samuo e amouk kowo ka iyo. Kasih nanang iyo.” (Ambil saja ayah, berikan semua bekal kami itu untuknya. kasihan dia.)

Nek Panggoh mengambil sebagian dari bekal itu, dan menyisakan sebagian untuk anak-anaknya. Akan tetapi, mereka tetap meminta agar sang ayah memberikan semuanya kepada orang yang lapar itu.

Iapun luluh dengan perkataan kedua anaknya, lalu ia mengambil bekal tersebut dan memberikan kepada raksasa alias  hantu Aboh[9].

Nek Panggoh lalu berkata padanya, "Anyian aku ngicangan kau banouk tunu. Makotn boh supayo kau samuh.” (Ini aku bawakan singkong bakar untukmu. Makanlah agar tenagamu pulih kembali.)

Hantu itu terlihat gembira, saat menerima singkong bakar pemberian Nek Panggoh. Ia melahap habis singkong-singkong yang diberikan padanya. Lalu katanya, "Oo taino, tarimok kasih kau dah ngamek aku makotn ari nyian. Kadek dudi kau palalu ka aku, saruk ajok aku. Aku pane nuukngik kau agik. Mulaik ari nyian dirik barayukng.” (Wahai manusia, terima kasih karna kamu telah memberi aku makan hari ini. Seandainya suatu hari kelak kau membutuhkan pertolonganku maka panggilah aku, maka aku akan segera datang untuk membantumu. Mulai hari ini, kita akan menjadi sahabat yang baik.)

Setelah berbicara, Ia mencabut beberapa helai bulu tangannya dan memberikannya kepada Nek Panggoh. Katanya, “Nyandeh aku ngamek kau bu kokotnku. Pakelah sak nyamuhotn urokng nang rongkouk. Ingatn boh! Tohanik baek-baek. Iyak sidi kau sio-siotn.” (Ini aku berikamu bulu tanganku. Pergunakanlah untuk menyembuhkan orang yang sakit. Ingatlah! Simpanlah baik-baik. Jangan pernah kau sia-siakan.)

Setelah memberikan benda tersebut, iapun pergi meninggalkan Nek Panggoh menuju puncak bukit. Nek Panggoh serasa bermimpi, dapat bertemu dengan hantu raksasa itu. Iapun langsung membungkus bulu-bulu itu dengan daukng babalik[10] yang tumbuh di sekitar tempat itu, lalu menyimpannya di dalam lipatan baju tarapm[11] yang dikenakannya.

Iapun mendekati kedua anaknya dan berkata, “Kamudok, ari nyian dirik dah mantuk jukutn nang bukotn ba-asal dai dunio dirik. Maskipun nyo o bukotn taino dahayo dirik nyian. Tapi dirik arus tatapm maok mantuk nyo o gak e. Angko udoh jaji tugas dirik ka taino.” (Anak-anak, hari ini kita telah membantu makhluk yang bukan berasal dari alam kita. Meskipun dia bukan manusia seperti kita, namun kita harus mau membantunya juga. Itu sudah menjadi tugas kita di dunia.)

Berkatalah Si Ambotn pada anaknya, "Bapok memang baek, dah maok nolong ka jukutn nang palalu patolongan.” (Ayah sangat luar biasa, karna telah sudi  menolong sesama yang membutuhkan pertolongan.)

Jawab Sang ayah, "Angkolah kamudok oo, salamok dirik idupm, dirik arus babuatn baikng. Dirik arus nolong samuo jukutn nang palalu patolongan, biar nyo oo antu sakaipun. Dirik anok muih sameno-meno ka iyo. Dirik arus mantuk iyo gak e. Kadek urokng jahatn ka dirik, anok usoh dirik jahatn ka iyo. Karamo Jubato-lah pane maas iyo. (Itulah anak-anakku, selama kita hidup, kita harus berbuat baik. Kita harus menolong semua makhluk yang membutuhkan pertolongan, meskipun ia hantu sekalipun. Kita tidak boleh semena-mena terhadap mereka. Kita juga harus membantu mereka. Jika ada yang berbuat jahat kepada kita, maka kita tidak boleh juga jahat kepadanya. Karena Tuhan-lah yang dapat membalasnya.)

Setelah berbicara kepada kedua anaknya, iapun lalu mengajak anak-anaknya pulang. Ia tidak meneruskan kegiatan meramu hari itu, karena ia takut jika hal buruk terjadi lagi. Selain itu, cuaca di sekitar tempat itu mulai gutõk-gutõk (mendung), suasana di hutan itu juga mulai tampak gelap.  Ia bergegas membawa keduanya, bersama anjing kesayangannya pulang ke rumah.

Selama lebih kurang dua jam perjalanan, tibalah mereka ke rumah. Sesampai di sana, ketiganya disambut oleh sang ibu dengan gembira.  Sang anak segera meraih tangan sang ibu, mereka menceritakan kejadian yang telah dialami saat meramu tanaman obat di hutan. Mendengar anaknya bercerita, Sang ibu hanya tersenyum saja. Ia mendengarkan dengan saksama semua yang disampaikan oleh kedua anaknya.

Waktu berlalu begitu cepat, angin mulai bertiup perlahan membawa rintik-rintik hujan yang mulai mengguyur dedaunan di malam itu. Sinar Dewi Malam tak tampak, karna bersembunyi dibalik gumpalan awan Cumolonimbus yang hitam dan pekat. Binatang malam yang biasanya riuh bernyanyi seperti boak (burung hantu), jangkerek (jangkrik), rego (kodok) di sekitar rumah keluarga Nek Panggoh tiada terdengar satupun. mungkin mereka sedang bercengkrama dengan keluarganya masing-masing.

Di rumah yang terbuat dari kayu beratap rumbia itu, terdengar suara dengkuran keras memecah gendang telinga. Suasana keheningan malam yang dingin diguyur hujan, berubah semarak karna adanya suara yang berasal dari dengkuran Nek Panggoh yang terlihat kelelahan. Ia terbaring di atas bidai yang terhampar di dalam bilik, bersama kedua anak dan istrinya.

Dalam tidurnya, ia bermimpi bertemu dengan seorang pria berjubah putih, wajahnya silau bercahaya.

Ia berkata dalam mimpinya, "Oh cucukku, Dangar boh!  Kau dah nukngik aku pas cagoh kasusohotn. Kau ngamek aku pamangkanan pas aku kaparotn. Atingu gagas dahayo Imukng. Iyak i-kotorik idupm ngu ngan jukutn nang inok baguno-guno, karamo manyak urok nang palaluŏk ka kau.” (Wahai Cucuku, Dengarlah! Kau telah menolongku di saat kesusahan. Kau memberiku makanan di saat kelaparan. Hatimu tulus seperti Merpati. Jangan kotori hidupmu dengan hal-hal yang sia-sia, karna kau sangat diharapkan oleh semua orang.)

Nek Panggoh terbangun dari mimpinya lalu berkata, "Rupae kahe bamimpi bo. Samugo Jubato ngalindungik aku samianakotn.” (Ternyata kejadian itu hanyalah mimpi. Semoga Tuhan melindungi aku sekeluarga.) Ia terjaga dari tidurnya hingga fajar menyingsing.

Terdengar kokok sabungan (ayam jantan) yang bersahut-sahutan, membangunkan anak-anak Nek Panggoh yang sedang tertidur pulas.

Nek Ampopotn yang Mendengar kokokan ayam segera bangun, dan menuju pancuran air yang ada di belakang rumah untuk membasuh wajahnya yang kusut. Setelah membasuh wajahnya, iapun berjalan ke dapur hendak memasak nasi, namun ketika dilihatnya beras yang akan dimasak telah habis. Iapun bergegas menuju bauh[12]  yang ada di dekat dapur. Ia tidak mengambil padi di dalam dango padi (lumbung padi), karena jika mengambil di sana maka harus melakukan ritual.

Ia menakar biji-biji padi yang sudah tuhur (kering) menggunakan sokmo[13], kemudian memasukkannya ke dalam sebuah bakul. Iapun membawa biji-biji padi itu ke dekat sebuah alat penumbuk yang terbuat dari kayu buyotn (belian). Bentuknya balok, sedangkan pada permukaannya berbentuk persegi panjang, pada bagian tengah terdapat lubang yang berbentuk kerucut terbalik dengan garis tengah satu jengkal setengah. Nek Ampopotn menyebut benda itu asukng (lesung), sedangkan alat penumbuk yang berbentuk tabung sepanjang satu meter setengah dinamakan alu, yang juga terbuat dari kayu belian. Ia menumbuk padi-padi itu menggunakan asukng dan alu.

 Ketika menumbuk di dalam lesung, ia memasukkan kira-kira satu bakul padi dan menambahkan sedikit serabut kelapa. Sabut kelapa itu digunakan sebagai penahan, agar padi-padi yang ditumbuk tidak berhamburan ataupun hancur.

Padi tersebut kemudian ditumbuk hingga kulitnya terkelupas. Nantinya yang tersisa hanyalah sekam dan beras. Proses ini belum selesai, tahap selanjutnya adalah menampi dan mengayak hasil tumbukan, untuk memisahkan antara sekam dan beras menggunakan pengayak dan nyiru yang terbuat dari bilah bambu. Setelah kegiatan mengayak selesai barulah, memisahkan atoh[14] dan mukutn[15] yang ada di dalam beras itu. Setelah itu, barulah beras akan dimasak menggunakan kenceng (periuk) hingga menjadi nasi yang enak.

Alunan merdu suara alu dan lesung yang bertalu-talu dengan sederetan kegiatan yang dilakukan oleh Nek Ampopotn, seakan mengguncang suasana pagi yang cerah bersama udara pagi yang segar dan sejuk karna hujan semalam.

Terlihat sang suami mengampirinya dan berkata, "Nuk, Inuk dah umpatn rupae.” (Bu, Ibu ternyata sudah bangun.)

Jawabnya, "Auk Pak oo. Mamak dah duhani dai tai.” (Iya Pak, Ibu sudah bangun dari tadi.)

Nek Panggoh pergi ke dapur, lalu mengambil air di dalam tempayan dan memanaskannya di atas tungku. Asap putih mengepul lalu keluar dari celah-celah dinding dapur yang terbuat dari Paapur (belahan bambu). Diatas tungku terdapat sokng asapm (sawang-sawang) yang telah lama berdiam dan menumpuk.

Tak beberapa lama terdengar suara anaknya bangun, "Haaa, rupae ari ko dah opm.” (Hahaaaa, ternyata hari sudah pagi.)

Sahut sang ibu kepada si Kampotn, "Auk nak ko. Matoari dah tarokng, sabungan dah bakokokotn dai tai. Mae adiik ngu? Umpaotn iyo gih! Ance kitok bamani’atik ka pancurotn.” (Ya nak. Matahari sudah bersinar, ayam-ayam jantan juga sudah berkokok sejak tadi. Mana adikmu? Ayo bangunkan adikmu, nak! Segera kalian mandi ke pancuran.)

Jawab Si Kampotn anaknya, sambil mengosok-gosok kepalanya yang gatal, "Auk mak o. Kodeh iyo dah duhani.” (Ya bu. Itu dia sudah bangun.)

Kedua anak itu memang penurut kepada orang tua, karena mereka dididik tentang kedisiplinan dan ketaatan. Jika mereka melakukan kesalahan, maka sang ayah akan memberikan sanksi. Sanksi yang diberikan bukanlah berupa hukuman fisik, akan tetapi sanksi nonfisik yang membuat mereka tidak akan mengulangi kesalahan yang sama.

Sinar Matahari sudah mulai meninggi menuju ubun-ubun kepala. Tiba-tiba dari kejauhan terdengar gonggongan, anjing kesayangan.

Lalu sang istri berkata, "Pok, ando tamoe atokng.” (Pak, ada tamu yang datang.)

Mendengar hal itu, Nek Panggoh lalu menengok keluar melalui jendela. Dia melihat ada tiga orang laki-laki berjalan menuju rumahnya, satu diantaranya terlihat lemah seperti orang sakit.

Mereka disambut hangat oleh Nek Panggoh, lalu ia berkata, "Jeklah taamok-taamok ka dango kami.” (Mari tuan-tuan, silahkan masuk ke gubuk kami.)

Mereka duduk berbincang-bincang di ruang serambi, sambil menyampaikan maksud kedatangan ke rumah Nek Panggoh, "Sabanare kami atokng kasio anyian nabanan ayukng kami nang rongkouk. Kami baarapm kitok biso nyamuhotn nyo o.” (Sebenarnya kedatangan kami ini membawa teman kami yang sakit. Kami berharap, kiranya Nek Panggoh dapat menyembuhkan penyakitnya.)

Lelaki itu menceritakan, jika temannya sudah hampir empat belas hari menderita sakit. Beberapa tabib sudah dikunjungi, namun mereka menyerah karena tak sanggup untuk menyembuhkan penyakitnya. Lalu mereka mendengar dari warga bantang Sango[16], bahwa di bantang Rubotn ada seorang tabib yang bisa mengobati penyakit. Orang itupun menyarankan, agar mereka membawa temannya yang sakit itu ke sana.

Nek Panggoh berkata, "Dirik kahe biso basaroh ka Jubato, karamo Io-lah nang biso nantuotn samuo e.” (Kita hanya bisa berserah pada Tuhan, karna Dia-lah yang bisa menentukan segalanya.)

Kata lelaki itu, "Bantuuklah kami Nek. Kami dah nabanan iyo ka ame-mae, tapi tatapm ajok masih jayo. Jare Pamabore waktu kowo, io kano tampias antu Aboh, mangkenyo jayo nang jadi e.” (Tolonglah kami Nek. Kami sudah membawanya ke mana-mana, namun tetap saja seperti ini. Menurut tabib sebelumnya, dia terkena gangguan hantu Aboh, hingga jadi begini).

Jawab Nek Panggoh, “Auklah kadek jako.” (Baiklah kalau begitu.)

Setelah mendengarkan penjelasan orang itu, ia lalu memeriksa keadaan orang itu dan melakukan ritual tanung[17]. Saat ia menanung[18], ternyata orang yang sakit itu telah diganggu oleh hantu Aboh. Ia kemudian meminta sang istri untuk membuat pàantarotn[19]. Ia mengambil segelas air yang berasal dari tujuh simpang mata air, lalu membacakan mantra kesembuhan ke dalamnya. Setelah itu, ia mencelupkan beberapa daun maso[20] dan memercikkannya di atas kepala pria itu.

Tak lama berselang, ia mengunyah beberapa lembar daun sirih, lalu menyemburkannya ke tubuh orang yang sakit itu. Ia juga menaburkan baras kuning[21] ke sekitar pria itu berbaring, lalu membacakan mantra yang tidak dimengerti bahasanya.

Malam terus berlalu seiring berputarnya bumi pada porosnya, begitu pula ritual pengobatan yang dilakukan oleh Nek Panggoh, sebentar lagi selesai dilakukan. Orang yang sakit itu dibaringkan di atas dipan, sedangkan teman-temannya yang lain memperhatikan sambil sesekali menahan rasa ngantuk. Demi kesembuhan sahabatnya, mereka rela untuk berjaga meski kondisi tubuh sudah tidak memungkinkan.

 Angin malam bertiup kencang membawa dedaunan tua terbang ke segala arah. Pepohonan di luar rumah menari-nari, mengantarkan para leluhur ke dunia Awo Pammo melalui mantra yang dibacakan oleh Nek Panggoh.  Terdengar suara kolang kulitn[22] yang menambah suasana semakin menakutkan.

Tak lama berlalu, tiupan angin kencang dan suara itupun sirna bak ditelan bumi. Hal itu, menandakan jika Nek Panggoh telah mengakhiri ritual pengobatannya. Ia bersama sang istri, kemudian membereskan semua perangkat ritual. Sedangkan pria yang sakit itu, disuruhnya untuk beristirahat agar tenaganya pulih.

Keesokan harinya, pemuda yang sakit itupun bangun, wajahnya tampak berseri. Badannya juga telah kembali pulih, Iapun menghampiri Nek Panggoh yang sedang bercengkrama pada sahabat-sahabatnya di serambi rumah.  

Nek Panggoh menyampaikan nasehat pada mereka, apabila berada di hutan, mereka tidak boleh melakukan hal-hal yang buruk, apalagi merusak alam yang dijaga oleh makhluk yang tidak kasat mata. Selain itu, ia juga menjelaskan, bahwa manusia hidup berdampingan dengan awo pammo (makhluk tak kasat mata). Oleh karena itu, sesama makhluk ciptaan Tuhan sudah seharusnya untuk hidup saling menghargai, agar tercipta keharmonisan alam.

Hari itu berlalu begitu cepat, kini tibalah bagi mereka untuk kembali ke rumah masing-masing. Sebelum pamit, Nek Ampopotn menyarankan mereka, agar mengambil jalan pintas untuk menuju kampung. Jalan pintas itu bertujuan, agar mereka terhindar dari hal-hal buruk lainnya.

Mereka berterima kasih kepada keluarga Nek Panggoh, lalu memberikan beberapa koin emas padanya sebagai balas jasa. Namun Nek Panggoh menolak, ia memilih untuk meminta sepotong benang sebagai Pangkaras[23]. Merekapun pulang ke bantang dengan perasaan yang lega.

Nek Panggoh sekeluarga merasa bahagia, karena telah melakukan hal baik kepada orang lain. Dia mengajarkan pada kedua anaknya, agar mau membantu orang yang berkesusahan, tidak melakukan pemerasan pada mereka yang mungkin saja memberikan sesuatu yang lebih.

Kata Nek Panggoh pada kedua anaknya, "Kitok, arus maok nolong urokng nang kasusohotn ameo agik ka urokng nag rongkouk. Ameo nang ando ka dirik ari nyian samuo e kowo titipotn Jubato. Dudi ari biso Se icokng agik kadek dah atokng ari e. Dirik gak e inok muih namoh ato gek ngurangik ameo nang udah i-ngatur umpat dai enek-enek dirik baharek malaluik adatn. Samuoe arus i-amuatn sidi-sidi sasuai aturatne.” (Kalian harus mau menolong orang yang berkesusahan apalagi mereka yang sakit. Segala yang kita miliki hari ini, merupakan titipan Sang Maha Pencipta. Suatu saat akan diambilnya kembali, jika tiba saatnya. Kita tidak boleh menambah atau mengurangi sesuatu yang sudah diatur oleh leluhur melalui adat. Semuanya harus dilakukan dengan baik sesuai aturannya.)

Sang istri menambahkan pada anak-anaknya, "Kadek kitok dah ayouk dudi, kitoklah nang ngantiatok kami anyian sak narusatnok adatn nang dah i-nurunan ka kami. Iyak sidi kitok nyio-nyiootn nyo oo. Karajaan jukutn nag baik. Kitok jauhik sagale jukutn nang buruk supayo kacilakootn inok nimpok kampouk dirik anyian. Kadek kacilakootn kowo atokng, kitok arus picayok kadek jubato dah ngamuatn nang sa aruse tajadi. Dirik taino arussadar ka satiap kasalahotn nang udah ingamuatn. Iyak kitok baik nangar kato boh. Anyian pasotn di urokng tuho kami duiyo nang bapiturutn sampe kaniok.” (Jika kalian sudah besar kelak, kalian lah yang akan menggantikan kami untuk meneruskan budaya leluhur kita. Jangan kalian sia-siakan semua yang telah diajarkan. Lakukan hal baik, jauhi hal buruk agar bencana tidak menimpa kampung kita. Saat bencana itu tiba, kalian harus percaya bahwa Tuhan telah melakukan kehendak-Nya. Manusia harus menyadari setiap kesalahan yang telah dilakukannya. Janganlah kalian mengacuhkan nasehat yang telah kami sampaikan ini, nasehat yang berasal dari leluhur yang diturunkan hingga sekarang.)

Keduanya mendengarkan dengan baik, berbagai hal yang disampaikan oleh kedua orangtuanya. Tentunya nasehat-nasehat tersebut akan bermanfaat saat mereka sudah dewasa.

***

Sumber Cerita:

Alm. Bahari bin Loson bin Nampo (Usia 98 tahun)

NILAI PENDIDIKAN KARAKTER:

Dari cerita yang berjudul Nek Panggoh di Bukit Rubotn, nilai pendidikan karakter yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu: kasih sayang, kerajinan, mencintai lingkungan, kepedulian, perhatian, ketaatan, amanah, murah hati, kesetiaan, kejujuran, kesediaan, keterbukaan, keingintahuan, ringan tangan, keriangan, pantang menyerah, panjang akal, mau berbagi, toleransi, rela berkorban, motivatif, kreatif, inovatif, menghargai budaya, keikhlasan, tahu berterima kasih, mau bersyukur, tepat waktu, keberanian, penurut, bijaksana, dan keramahan.

PESAN MORAL:

Dari cerita yang berjudul Nek Panggoh di Bukit Rubotn, terdapat pesan moral yang dapat dihayati, yaitu:

1.     Harus menumbuhkan sikap saling menyayangi kepada anggota keluarga;

2.     Harus taat kepada kedua orangtua;

3.     Harus melakukan hal baik kepada sesama dengan ikhlas;

4.     Harus mau berusaha dan tidak berputus asa;

5.     Menggunakan akal dan pikiran sebelum bertindak;

6.     Menghargai dan menjaga keseimbangan alam;

7.     Menjaga kesehatan dan keimanan;

8.     Tidak menyerah terhadap masalah yang dihadapi;

Tetap menjaga adat dan budaya yang telah diwariskan oleh leluhur, sebagai ciri khas dari jati diri bangsa yang kuat.

[1]) Tabib; Ahli pengobatan tradisional.

[2]) Mengasapi ke sekeliling tubuh.

[3]) Takin; Alat pengambin barang yang terbuat dari bambu dan rotan.

[4]) Bukit Roban.

[5]) Wilayah Singkawang.

[6]) Tanaman obat yang daunnya seperti sayap kupu-kupu, dahulu

    digunakan sebagai pembungkus tembakau.

[7]) Pohon Beringin.

[8]) Senjata tradisional Dayak Salako Garantukng Sakawokng.

[9]) Jenis hantu penghuni Rimba Kalimantan Barat.

[10]) Sejenis tanaman yang memiliki bentuk daun terbalik apabila

    sudah tua.

[11]) Baju yang terbuat dari kulit pohon tarap.

[12]) Wadah besar yang terbuat dari kulit kayu untuk menyimpan biji padi yang sudah kering.

[13]) Kulit buah Maja yang dikeringkan sebagai alat penakar ataupun untuk centong air.

[14]) Biji padi yang terdapat pada beras.

[15]) Beras yang hancur berukuran kecil dan halus, biasanya diberikan

     ke ayam ataupun bebek.

[16]) Kampung Sanggau Kulor

[17]) Melihat dengan mata batin.

[18]) Kegiatan bertanung atau melihat orang yang sakit menggunakan  

     mata batin.

[19]) Perangkat ritual yang berisi beras, sebuah antek (sirih,

    kapur, pinang, gambir), sebatang rokok nipah dan uang.

[20]) Tumbuhan Miana berwarna hijau.

[21]) Beras yang dicampur dengan rimpang kunyit sehingga berwarna

    kuning.

[22]) Sejenis burung malam yang bernilai mistis, bentuknya kecil dan

     memiliki bulu yang sangat indah.

[23]) Benda penawar jika penyakit itu balik menyerang tabib yang

     menyembuhkannya.

Puisi Ngauk Kapalo karya Hendra Bahari Singkawang 2024

 Ngauk Kapalo (Hendra Bahari Singkawang)   Nanang mato ka oncok bukit, Maok ijook gaik taraboh, Antoh mato dameo, Mato urok taraboh, Ka puhu...