Nek Panggoh Ka Bukitn Rubotn
Alkisah
dahulu kala di Bantang
Rubotn (Roban) ada seorang Pamabore bernama Nek Panggoh. Ia mempunyai seorang istri bernama Nek
Ampopotn. Selain itu, ia juga memiliki dua orang
anak laki-laki, bernama Kampotn dan Ambotn.
Pamabore
adalah orang yang membantu mengobati orang yang sakit. Dalam hal ini, Nek Panggoh merupakan pamabore kenekng yakni
mengobati penyakit yang ringan menggunakan media baroõtn (semangkuk bara
api) dan sepotong kemenyan putih. Kegiatan itu dilakukan pada sore hingga malam
hari.
Sebagai seorang Pamabore, Nek
Panggoh telah banyak membantu orang yang sakit.
Ia memanterakan asap baraan dan nyau’otn asap
baraan tersebut, pada sekeliling tubuh orang yang sakit. Selain itu, ia juga
menggunakan air tawar sebagai penawar penyakit. Air tawar, berupa segelas air
putih yang juga dimanterakan. Sebelum diminumkan kepada pesakit, sedikit air itu
diletakkan di ujung-ujung jari tangan, lalu ditepuk-tepukan di atas ubun-ubun
sebanyak tiga kali, kemudian diminumkan pada orang yang sakit sebanyak tiga
teguk dan sisanya diminum untuk keesokan harinya.
Kadang
kala, Nek Panggoh juga menggunakan daun sirih sebagai media penggobatan. Ia
mengunyah daun sirih lalu mengusapkannya ke badan, kaki, dan lengan pesakit.
Lalu orang yang sakit itu, ia beri minum yang di dalamnya terdapat beberapa
irisan kunyit yang dimanterakan. Semua penyakit dapat disembuhkannya ritual tersebut.
Sebagai seorang pamabore, Nek Panggoh wajib mengetahui
beberapa jenis tanaman yang digunakan sebagai penawar penyakit. Tanaman-tanaman
obat tersebut, diracik menjadi ramuan herbal yang dapat diminum sebagai
penawar. Tidak heran jika sewaktu-waktu, ia pergi ke hutan mencari ramuan
tanaman yang akan diracik sebagai obat tradisional.
Suatu hari, Nak Panggoh mengajak kedua anaknya
mencari ramuan obat ke hutan. Ia pun berkata
pada anak-anaknya, "Ari nyian bapok maok ampus ka dopm utotn, bagaguok sagale dauk kayu sak tatamoõk.” (Hari ini bapak akan pergi ke hutan,
hendak mencari dedaunan tanaman
untuk obat-obatan.)
Jawab anaknya, "Auk
gek pok, kami muih
ampus gak e gek pok?” (Ya kah pak, kami boleh ikut juga kah?)
Sahut Ayahnya lagi, “Muih
boh, pi kaniok kitok arus basiapm-siapm dohok.
Amouk
kitok, udoh inuk
nyiapotn ka dapur.” (Bolehlah, tapi
sekarang kalian harus bersiap-siap dulu. Semua perbekalan kalian telah
disiapkan ibu di dapur.)
Keduanya
bergegas menuju sang ibu yang berada di dapur.
Berkatalah Si Ambotn pada sang
ibu, "Nuk, bapok nabananok kami
ampus ngaramu ka dopm utotn.” (Ibu, ayah
mengajak kami meramu tanaman ke hutan.)
Lalu
sang ibu menjawab, "Ampuslah
ba bapok. Tuukngik iyo
ngagouk sagale
daukng sak ngamuatn tatamo. Kadek anok nahuik, kitok
batanyok jok ka iyo.” (Pergilah bersama
ayah. Bantulah ia mencari dedaunan yang akan diracik menjadi obat.
Seandainya kalian bingung, kalian bisa bertanya kepada
kepadanya.)
Ujar
Si Ambotn,
"Auklah nuk
o kadek jako. Kami maok nunaanok bapok.” (Baiklah bu kalau begitu. Kami akan pergi bersama ayah.)
Sahut
ibunya lagi sambil memberikan bungkusan yang berisi singkong bakar kesukaan
kedua anaknya, "Inuk dah
nyiapotn amouk sak kitok nano. Ame kaupootn imakotn boh.” (Ibu
sudah menyiapkan bekal untuk kalian nanti. Jangan lupa dimakan.)
Jawab anaknya, “Auk Nuk oo.” (Ya
bu.)
Ujar Ibunya lagi, ”Oh auk, kadek ka dopm
utotn, kitok
iyak kitok ngingis.
Kitok ame bakato nang inok sinonoh, iyak ngacuik jukutn nang endoh. Kitok iyak
mamain jauh dai bapok. Tabanan gak
e Si Pogotn, asuk dirik sakng ngayukngik kitok.” (Oh ya, seandainya berada
di hutan, kalian tidak boleh nakal. Kalian tidak boleh berbicara yang
jorok, tidak boleh mengganggu sesuatu yang aneh. Kalian jangan bermain jauh-jauh dari ayah. Bawalah Si Pogotn, anjing kita untuk
menemani kalian.)
Setelah
mendengarkan nasehat dari sang ibu, lalu keduanya mengambil perbekalan yang
telah disiapkan. Mereka sangat gembira, karna akan berangkat ke hutan bersama
sang ayah. Sang ibu tersenyum, kala melihat kedua anaknya yang masih kecil itu,
bertingkah lucu dan mengemaskan. keduanya terlihat menggandeng tangan sang
ayah, yang dipunggungnya terdapat ojotn.
Mereka segera berangkat,
menuju hutan bukitn rubotn. Salah satu bukit yang menjulang tinggi di bantang Sakawokng.
Di
bukit itu, ada berbagai
macam jenis tanaman obatan yang sangat bermanfaat untuk dijadikan tatamo (ramuan). Tanaman itu
seperti binahukng
(binahong), tamar
basi (tamar besi), nubiik (sejenis tanaman obat), babeak, daun
pancagetn,
tampar antu, kataker, daun bangkire (bangkirai), pasak
bumi (sejenis tanaman obat), kulit batang kueni (asam kweni), daun bintawok (bentawak), dan sebagainya. Tanaman-tanaman itu nantinya akan diracik sebagai ramuan untuk menyembuhkan penyakit.
Saat
diperjalanan, Si Ambotn bertanya pada ayahnya sambil menunjuk ke arah sebuah
bukit, "Pok, angko bukitn ameo gek?” (Ayah, apa nama bukit itu?)
Jawab
sang ayah, "Angko
damoe bukitn rubotn, kanaunlah dirik ampusok. Ando manyak daukng
tatamo i-naun.” (Itu namanya bukit Rubotn. Di sanalah tempat yang akan kita tuju. Ada banyak tanaman obat di sana.)
Ucap
Si Ambotn dengan wajah ceria, "O,
jako gek pok.” (Oh begitu ya ayah.)
Jawab
Sang ayah, “Auklah.”
(Ya lah.)
Tak
henti-henti keduanya bertanya pada sang ayah, tentang hal-hal yang belum pernah
mereka lihat dan ketahui.
Tatkala mereka
berbincang-bincang diperjalanan, tiba-tiba terdengar gonggongan Si Pogotn dari kejauhan,
"Gukk,
gukk, gukkkk."
Kata
Si Ambotn, “Pok,
asuk dirik nyaakng. Ameo auk nang se nyak kowo? Jek dirik nanang iyo.”
(Pak, anjing kita menggonggong. Apa ya, yang digonggongnya itu? Mari kita
melihatnya.)
Kata sang ayah, "Jek
nakng dirik kanaun.” (Mari nak, kita ke
sana.)
Mereka
bergegas menuju tempat anjing itu
menggonggong. Sang Ayah lalu, "Ninnnn, ameo nang kau nyakngik kowo?” (Ninnn, Apa yang kamu kejar itu?)
Anjing
itu terus menggonggong, ia seperti melihat sesuatu yang aneh di dalam semak belukar.
Lalu Nek Panggoh menyambangi semak belukar itu, tiba-tiba bulu kuduknya berdiri
dan merasakan hal yang sangat aneh. Ia
mendengar suara rintihan yang menyeramkan di balik semak-semak itu. Alangkah
terperanjatnya, tatkala melihat sesosok makhluk bertubuh besar, berbulu hitam
dan lebat. Makhluk itu terbaring lemah di dalam semak dekat pohon kayu aro.
Melihat
hal itu, Nek Panggoh berusaha
mengalihkan perhatian dari kedua anaknya. Hal itu dilakukan, agar mereka tidak
cemas dan panik, apalagi jika mengetahui ada makhluk yang menyeramkan di dekat
mereka berada.
Ujarnya dalam hati, "Deh, ameo gek jukutne anyian? Adenek, bukotn gek angko kan antu Aboh.” (Wah, apa ini? Ya ampun, bukankah itu hantu Aboh.)
Iapun
segera menyuruh kedua anaknya untuk menyingkir ke belakang kira-kira lima puluh
meter dari tempatnya berada.
Ujarnya,
“Nak, kitok
dai dohok boh. Bapok mok nanangok jukutn naun dohok.” (Anak-anak,
kalian menyingkir dulu ya. Ayah akan melihat sesuatu yang ada di sana.)
Kemudian, ia bergegas kembali semak belukar itu, ia menghampiri sosok mahkluk berbulu hitam lebat sedang terbaring di semak-semak belukar.
Berserulah Nek Panggoh dengan
sedikit was-was, "Siape gek kitok anyian? Ameo bo nang
tajadi i-sio” (Siapakah gerangan
anda? Apakah gerangan yang terjadi di sini?)
Lalu makhluk itu bergerak perlahan seakan tak berdaya dan
berkata, "Oo taino,maok gek kau
nuukngik aku? Aku kaparotn sidi karamu dah imo ari
inok makotn. Tubuhku lamoh,
tuokngku basakitatnik, ju aku anok as agik bagarakok.” (Wahai bangsa manusia, maukah kamu membantu aku? Aku sangat
lapar karena sudah lima hari tidak makan. Badanku lemah, tulang-tulangku terasa
sakit, aku tidak mampu lagi untuk bergerak.)
Suaranya
terdengar lemah, namun terdengar kemana-mana, hingga ke telinga kedua anak Nek
Panggoh, yang bersembunyi di balik semak tak jauh dari tempat itu. Kedua
anaknya ketakutan, mereka hanya bisa terdiam sambil memeluk takin sang ayah,
sedangkan anjingnya terus saja menggonggong di samping sang ayah yang
menemui makhluk aneh itu.
Sahut
Nek Panggoh, "Oh,
antu aboh, aku inok
bahato pamangkanana nang nyaman. Aku kahe bahato banuok tunu. Angkopun anuk
kamudokku. Aku kahe biso ngamek kau sadikitn jok.” (Wahai raksasa, aku tidak membawa makanan yang enak. Namun aku hanya membawa singkong bakar, itupun bekal
anak-anakku. Aku hanya bisa memberimu sedikit saja.)
Lalu
jawab itu, "Ameopun
nang kau amek, aku maok. Soale aku kaparotn sidi.” (Apapun yang kau berikan, aku mau. Karena aku sangat lapar.)
Sahut Nek Panggoh, "Anti’otn dohok boh! Aku ngicangan kau dohok.” (Tunggulah sejenak! Aku akan membawakannya untukmu.)
Nek
Panggoh mundur beberapa langkah ke belakang, lalu berputar seratus delapan
puluh derajat ke arah anak-anaknya bersembunyi. Di pinggangnya tergantung
sebuah tangkitn yang
sewaktu-waktu digunakan untuk melindungi dirinya.
Iapun
berkata pada anak-anaknya, "Nak,
muih gek bapok mintok sadikitn amouk kitok?” (Nak, bolehkah ayah minta sebagian bekal kalian.)
Bertanyalah
Si Ambotn pada ayahnya, "Sak ameo ook pok?” (Untuk
apa ayah?) Ia mengambil
bekal yang ada di dalam takin, lalu memberikannya pada sang ayah.
Ujar Ayah, "Kitok ame gaik bouh, karamo i-naun ando urokng
nang palalu bantuotn dirik. Saparo amouk anyian, bapok bareatnok ka
iyo,
karamo iyo dah amper
baro.” (Kalian tidak
perlu takut, karna di sana ada seseorang yang sedang membutuhkan pertolongan
kita. Sebagian bekal kalian akan ayah berikan padanya, karena dia sangat
kelaparan dan hamper pingsan.)
Jawab
Si Ambotn, "Icokng sajok
pok oo. Ame’otn samuo e amouk kowo ka iyo. Kasih nanang iyo.” (Ambil saja ayah, berikan semua bekal kami itu untuknya.
kasihan dia.)
Nek
Panggoh mengambil sebagian dari bekal itu, dan menyisakan sebagian untuk
anak-anaknya. Akan tetapi, mereka tetap meminta agar sang ayah memberikan
semuanya kepada orang yang lapar itu.
Iapun
luluh dengan perkataan kedua anaknya, lalu ia mengambil bekal tersebut dan
memberikan kepada raksasa alias hantu Aboh.
Nek
Panggoh lalu berkata padanya, "Anyian aku
ngicangan kau banouk tunu. Makotn boh supayo kau samuh.” (Ini aku bawakan singkong bakar untukmu. Makanlah agar
tenagamu pulih kembali.)
Hantu itu terlihat gembira, saat
menerima singkong bakar pemberian Nek Panggoh. Ia melahap habis singkong-singkong yang diberikan padanya. Lalu katanya, "Oo taino, tarimok kasih kau dah ngamek aku
makotn ari nyian. Kadek dudi kau palalu ka aku, saruk ajok aku. Aku pane nuukngik kau agik.
Mulaik ari nyian dirik barayukng.” (Wahai manusia, terima kasih karna kamu telah memberi aku makan
hari ini. Seandainya suatu hari kelak kau
membutuhkan pertolonganku maka panggilah aku, maka aku akan segera datang untuk
membantumu. Mulai hari ini, kita akan menjadi sahabat yang baik.)
Setelah berbicara, Ia mencabut beberapa helai bulu tangannya dan memberikannya
kepada Nek Panggoh. Katanya, “Nyandeh
aku ngamek kau bu kokotnku. Pakelah sak nyamuhotn urokng nang rongkouk. Ingatn
boh! Tohanik baek-baek. Iyak sidi kau sio-siotn.” (Ini aku
berikamu bulu tanganku. Pergunakanlah untuk menyembuhkan orang yang sakit.
Ingatlah! Simpanlah baik-baik. Jangan pernah kau sia-siakan.)
Setelah
memberikan benda tersebut, iapun pergi meninggalkan Nek Panggoh menuju puncak
bukit. Nek Panggoh serasa bermimpi, dapat bertemu dengan hantu raksasa itu.
Iapun langsung membungkus bulu-bulu itu dengan daukng babalik yang
tumbuh di sekitar tempat itu, lalu menyimpannya di dalam lipatan baju tarapm
yang dikenakannya.
Iapun
mendekati kedua anaknya dan berkata, “Kamudok, ari nyian dirik dah mantuk jukutn nang
bukotn ba-asal dai dunio dirik. Maskipun
nyo o bukotn taino dahayo dirik nyian. Tapi dirik arus tatapm maok mantuk nyo o
gak e. Angko udoh jaji tugas dirik ka taino.” (Anak-anak, hari
ini kita telah membantu makhluk yang bukan berasal dari alam kita. Meskipun dia
bukan manusia seperti kita, namun kita harus mau membantunya juga. Itu sudah
menjadi tugas kita di dunia.)
Berkatalah
Si Ambotn pada anaknya, "Bapok memang baek, dah maok nolong ka jukutn nang palalu
patolongan.” (Ayah sangat luar
biasa, karna telah sudi menolong sesama
yang membutuhkan pertolongan.)
Jawab
Sang ayah, "Angkolah kamudok oo, salamok dirik idupm, dirik arus
babuatn baikng. Dirik arus nolong samuo jukutn nang palalu patolongan,
biar nyo oo antu sakaipun. Dirik anok muih sameno-meno ka iyo. Dirik arus mantuk
iyo gak e.
Kadek urokng jahatn ka dirik, anok usoh dirik jahatn ka iyo. Karamo Jubato-lah
pane maas iyo.” (Itulah
anak-anakku, selama kita hidup, kita harus berbuat baik. Kita harus menolong
semua makhluk yang membutuhkan pertolongan, meskipun ia hantu sekalipun. Kita tidak boleh semena-mena terhadap mereka. Kita juga harus membantu mereka. Jika ada yang berbuat jahat kepada
kita, maka kita tidak boleh juga jahat kepadanya. Karena Tuhan-lah yang dapat
membalasnya.)
Setelah
berbicara kepada kedua anaknya, iapun lalu mengajak anak-anaknya pulang. Ia
tidak meneruskan kegiatan meramu hari itu, karena ia takut jika hal buruk
terjadi lagi. Selain itu, cuaca di sekitar tempat itu mulai gutõk-gutõk
(mendung), suasana di hutan itu juga mulai tampak gelap. Ia bergegas membawa keduanya, bersama anjing
kesayangannya pulang ke rumah.
Selama lebih kurang dua jam perjalanan,
tibalah mereka ke rumah. Sesampai di sana, ketiganya disambut oleh sang ibu dengan gembira.
Sang anak segera meraih
tangan sang ibu, mereka menceritakan kejadian yang
telah dialami saat meramu tanaman
obat di hutan. Mendengar anaknya bercerita, Sang ibu hanya tersenyum saja. Ia
mendengarkan dengan saksama semua
yang disampaikan oleh kedua anaknya.
Waktu
berlalu begitu cepat, angin mulai bertiup perlahan membawa rintik-rintik hujan
yang mulai mengguyur dedaunan di malam itu. Sinar Dewi Malam tak tampak, karna bersembunyi dibalik gumpalan
awan Cumolonimbus yang hitam dan pekat. Binatang malam yang biasanya riuh
bernyanyi seperti boak (burung hantu), jangkerek (jangkrik),
rego (kodok) di sekitar rumah keluarga Nek
Panggoh tiada terdengar satupun. mungkin mereka sedang bercengkrama dengan
keluarganya masing-masing.
Di rumah yang terbuat dari kayu beratap rumbia itu, terdengar
suara dengkuran keras memecah gendang telinga. Suasana keheningan malam yang
dingin diguyur hujan, berubah semarak karna adanya suara yang berasal dari
dengkuran Nek Panggoh yang terlihat kelelahan. Ia terbaring di atas bidai yang
terhampar di dalam bilik, bersama kedua anak dan istrinya.
Dalam tidurnya, ia bermimpi bertemu dengan seorang pria berjubah putih, wajahnya
silau bercahaya.
Ia
berkata dalam mimpinya, "Oh
cucukku, Dangar boh! Kau dah nukngik aku
pas cagoh kasusohotn. Kau ngamek aku pamangkanan pas aku kaparotn. Atingu gagas
dahayo Imukng. Iyak i-kotorik
idupm ngu ngan jukutn nang inok baguno-guno, karamo manyak urok nang palaluŏk
ka kau.” (Wahai Cucuku, Dengarlah! Kau telah menolongku di saat kesusahan. Kau memberiku makanan di saat kelaparan. Hatimu tulus
seperti Merpati. Jangan kotori hidupmu dengan hal-hal
yang sia-sia, karna kau sangat diharapkan oleh semua orang.)
Nek Panggoh terbangun dari mimpinya lalu berkata, "Rupae
kahe bamimpi bo. Samugo Jubato ngalindungik aku samianakotn.” (Ternyata kejadian itu hanyalah mimpi. Semoga Tuhan melindungi aku sekeluarga.) Ia terjaga
dari tidurnya hingga fajar menyingsing.
Terdengar kokok sabungan (ayam
jantan) yang bersahut-sahutan, membangunkan anak-anak Nek Panggoh yang sedang tertidur pulas.
Nek Ampopotn yang
Mendengar kokokan ayam segera bangun, dan menuju pancuran air yang ada di belakang rumah
untuk membasuh wajahnya yang kusut. Setelah membasuh wajahnya, iapun berjalan ke dapur hendak memasak nasi, namun ketika dilihatnya beras yang
akan dimasak telah habis. Iapun bergegas menuju bauh yang ada di dekat
dapur. Ia tidak mengambil padi di dalam dango padi (lumbung padi), karena jika mengambil di sana maka harus melakukan
ritual.
Ia menakar biji-biji padi yang sudah tuhur (kering) menggunakan sokmo, kemudian
memasukkannya ke dalam sebuah bakul. Iapun membawa biji-biji padi itu ke dekat sebuah alat penumbuk yang terbuat dari kayu buyotn
(belian). Bentuknya balok, sedangkan pada permukaannya berbentuk persegi
panjang, pada bagian tengah terdapat lubang yang berbentuk kerucut terbalik
dengan garis tengah satu jengkal setengah. Nek Ampopotn menyebut benda itu asukng (lesung),
sedangkan alat penumbuk yang berbentuk tabung sepanjang satu meter setengah dinamakan
alu, yang
juga terbuat dari kayu belian. Ia menumbuk padi-padi itu menggunakan asukng dan alu.
Ketika menumbuk di dalam lesung, ia memasukkan
kira-kira satu bakul padi dan menambahkan sedikit serabut kelapa. Sabut kelapa
itu digunakan sebagai penahan, agar padi-padi yang ditumbuk tidak berhamburan
ataupun hancur.
Padi
tersebut kemudian ditumbuk hingga kulitnya terkelupas. Nantinya yang tersisa
hanyalah sekam dan beras. Proses ini belum selesai, tahap selanjutnya adalah
menampi dan mengayak hasil tumbukan, untuk memisahkan antara sekam dan beras
menggunakan pengayak dan nyiru yang terbuat dari bilah bambu. Setelah kegiatan
mengayak selesai barulah, memisahkan atoh dan mukutn yang
ada di dalam beras itu. Setelah itu, barulah beras akan dimasak menggunakan kenceng
(periuk) hingga menjadi nasi yang enak.
Alunan
merdu suara alu dan lesung yang bertalu-talu dengan sederetan kegiatan yang
dilakukan oleh Nek Ampopotn, seakan mengguncang suasana pagi yang
cerah bersama udara pagi yang segar dan sejuk karna hujan
semalam.
Terlihat
sang suami mengampirinya dan berkata, "Nuk, Inuk dah umpatn rupae.” (Bu, Ibu ternyata sudah bangun.)
Jawabnya, "Auk
Pak oo. Mamak dah duhani dai tai.” (Iya Pak, Ibu sudah bangun dari tadi.)
Nek
Panggoh pergi ke dapur, lalu mengambil air di dalam tempayan dan memanaskannya
di atas tungku. Asap putih mengepul lalu keluar dari celah-celah dinding dapur
yang terbuat dari
Paapur (belahan bambu). Diatas tungku terdapat sokng asapm (sawang-sawang)
yang telah lama berdiam dan menumpuk.
Tak beberapa lama terdengar
suara anaknya bangun,
"Haaa,
rupae ari ko dah opm.” (Hahaaaa, ternyata hari sudah pagi.)
Sahut sang ibu kepada si Kampotn, "Auk nak ko. Matoari dah tarokng, sabungan dah bakokokotn
dai tai. Mae adiik ngu? Umpaotn iyo gih! Ance kitok bamani’atik ka pancurotn.” (Ya nak. Matahari
sudah bersinar, ayam-ayam jantan juga sudah berkokok sejak tadi. Mana adikmu? Ayo bangunkan adikmu, nak! Segera kalian
mandi ke pancuran.)
Jawab
Si Kampotn anaknya, sambil mengosok-gosok kepalanya yang gatal, "Auk
mak o. Kodeh iyo dah duhani.” (Ya bu. Itu dia
sudah bangun.)
Kedua
anak itu memang penurut kepada orang tua, karena
mereka dididik tentang kedisiplinan dan ketaatan. Jika mereka
melakukan kesalahan, maka sang ayah akan memberikan sanksi. Sanksi yang
diberikan bukanlah berupa hukuman fisik, akan tetapi sanksi nonfisik yang
membuat mereka tidak akan mengulangi
kesalahan yang sama.
Sinar
Matahari sudah mulai meninggi menuju ubun-ubun kepala. Tiba-tiba dari kejauhan
terdengar gonggongan, anjing kesayangan.
Lalu
sang istri berkata, "Pok,
ando tamoe atokng.” (Pak, ada tamu yang datang.)
Mendengar
hal itu, Nek Panggoh lalu menengok keluar melalui jendela. Dia melihat ada tiga
orang laki-laki berjalan menuju rumahnya, satu diantaranya terlihat lemah
seperti orang sakit.
Mereka
disambut hangat oleh Nek
Panggoh, lalu ia berkata,
"Jeklah taamok-taamok ka dango kami.” (Mari tuan-tuan, silahkan masuk ke gubuk kami.)
Mereka
duduk berbincang-bincang di ruang serambi, sambil menyampaikan maksud kedatangan ke rumah Nek Panggoh, "Sabanare
kami atokng kasio anyian nabanan ayukng kami nang rongkouk. Kami baarapm kitok
biso nyamuhotn nyo o.” (Sebenarnya kedatangan
kami ini membawa teman kami yang sakit. Kami berharap, kiranya
Nek Panggoh dapat menyembuhkan
penyakitnya.)
Lelaki itu menceritakan, jika temannya sudah hampir empat
belas hari menderita sakit. Beberapa tabib sudah dikunjungi, namun mereka menyerah
karena tak sanggup untuk menyembuhkan penyakitnya. Lalu mereka mendengar dari warga bantang Sango,
bahwa di bantang Rubotn ada seorang tabib yang bisa mengobati
penyakit. Orang itupun menyarankan, agar mereka membawa temannya yang sakit itu ke sana.
Nek
Panggoh berkata, "Dirik kahe
biso basaroh ka Jubato,
karamo Io-lah nang biso nantuotn samuo e.” (Kita hanya bisa berserah pada Tuhan, karna Dia-lah yang bisa
menentukan segalanya.)
Kata lelaki itu, "Bantuuklah
kami Nek. Kami dah nabanan iyo ka ame-mae, tapi tatapm ajok masih jayo. Jare
Pamabore
waktu kowo, io kano tampias antu Aboh, mangkenyo jayo nang jadi e.” (Tolonglah kami Nek. Kami sudah membawanya ke mana-mana,
namun tetap saja seperti ini. Menurut tabib sebelumnya, dia terkena gangguan
hantu Aboh,
hingga jadi begini).
Jawab Nek Panggoh, “Auklah kadek jako.” (Baiklah kalau begitu.)
Setelah
mendengarkan penjelasan orang
itu, ia lalu memeriksa
keadaan orang itu dan melakukan ritual tanung. Saat
ia menanung,
ternyata orang yang sakit itu
telah diganggu oleh hantu Aboh. Ia kemudian meminta sang istri untuk membuat pàantarotn. Ia mengambil segelas air yang berasal dari tujuh simpang mata
air, lalu membacakan mantra
kesembuhan ke dalamnya. Setelah itu,
ia mencelupkan beberapa daun maso dan memercikkannya di atas kepala pria itu.
Tak
lama berselang, ia mengunyah beberapa lembar daun sirih, lalu menyemburkannya
ke tubuh orang yang sakit itu. Ia juga menaburkan baras kuning ke sekitar pria itu berbaring, lalu membacakan mantra yang
tidak dimengerti bahasanya.
Malam terus berlalu seiring berputarnya bumi pada porosnya, begitu
pula ritual pengobatan yang
dilakukan oleh Nek Panggoh, sebentar lagi selesai dilakukan. Orang yang sakit
itu dibaringkan di atas dipan, sedangkan teman-temannya yang lain memperhatikan sambil
sesekali menahan rasa ngantuk. Demi kesembuhan sahabatnya, mereka rela
untuk berjaga meski kondisi tubuh sudah tidak
memungkinkan.
Angin malam bertiup kencang membawa dedaunan tua terbang ke segala arah. Pepohonan di
luar rumah menari-nari, mengantarkan para leluhur ke dunia Awo Pammo
melalui mantra yang dibacakan
oleh Nek Panggoh.
Terdengar suara kolang kulitn yang menambah suasana semakin menakutkan.
Tak lama berlalu, tiupan angin kencang dan suara itupun sirna bak ditelan bumi. Hal itu,
menandakan jika Nek Panggoh telah mengakhiri ritual pengobatannya. Ia bersama sang istri,
kemudian membereskan semua perangkat ritual. Sedangkan pria yang sakit itu, disuruhnya untuk beristirahat agar tenaganya
pulih.
Keesokan harinya, pemuda yang sakit itupun bangun, wajahnya tampak berseri. Badannya juga telah kembali pulih, Iapun menghampiri Nek Panggoh yang
sedang bercengkrama pada sahabat-sahabatnya di
serambi rumah.
Nek Panggoh
menyampaikan nasehat pada mereka, apabila berada di hutan, mereka tidak boleh
melakukan hal-hal yang buruk, apalagi merusak alam yang dijaga oleh makhluk
yang tidak kasat mata. Selain itu, ia juga menjelaskan, bahwa manusia hidup
berdampingan dengan awo
pammo (makhluk tak kasat mata). Oleh karena itu, sesama makhluk
ciptaan Tuhan sudah seharusnya untuk hidup saling menghargai, agar tercipta
keharmonisan alam.
Hari itu berlalu begitu cepat, kini tibalah bagi mereka untuk kembali ke rumah masing-masing.
Sebelum pamit, Nek Ampopotn
menyarankan mereka, agar mengambil
jalan pintas untuk menuju
kampung. Jalan pintas itu bertujuan, agar mereka terhindar dari hal-hal
buruk lainnya.
Mereka berterima kasih kepada keluarga Nek Panggoh, lalu memberikan beberapa koin emas padanya sebagai
balas jasa. Namun Nek Panggoh menolak, ia memilih untuk meminta sepotong benang sebagai Pangkaras. Merekapun pulang ke bantang dengan perasaan yang lega.
Nek Panggoh
sekeluarga merasa bahagia, karena telah melakukan
hal baik kepada
orang lain. Dia mengajarkan pada kedua anaknya, agar mau membantu orang yang berkesusahan, tidak melakukan pemerasan
pada mereka yang mungkin saja memberikan sesuatu yang lebih.
Kata Nek Panggoh pada kedua anaknya, "Kitok,
arus maok nolong urokng nang kasusohotn ameo agik ka urokng nag rongkouk. Ameo
nang ando ka dirik ari nyian samuo e kowo titipotn Jubato. Dudi ari biso Se
icokng agik kadek dah atokng ari e. Dirik gak e inok muih namoh ato gek
ngurangik ameo nang udah i-ngatur umpat dai enek-enek dirik baharek malaluik
adatn. Samuoe arus i-amuatn sidi-sidi sasuai aturatne.” (Kalian harus mau menolong orang yang berkesusahan apalagi mereka
yang sakit. Segala
yang kita miliki
hari ini, merupakan titipan Sang Maha Pencipta. Suatu saat akan diambilnya
kembali, jika tiba saatnya. Kita tidak boleh menambah atau mengurangi sesuatu
yang sudah diatur oleh leluhur melalui adat. Semuanya harus dilakukan dengan
baik sesuai aturannya.)
Sang
istri menambahkan pada anak-anaknya, "Kadek kitok dah ayouk dudi, kitoklah nang ngantiatok kami
anyian sak narusatnok adatn nang dah i-nurunan ka kami. Iyak sidi kitok
nyio-nyiootn nyo oo. Karajaan jukutn nag baik. Kitok jauhik sagale jukutn nang
buruk supayo kacilakootn inok nimpok kampouk dirik anyian. Kadek kacilakootn
kowo atokng, kitok arus picayok kadek jubato dah ngamuatn nang sa aruse tajadi.
Dirik taino arussadar ka satiap kasalahotn nang udah ingamuatn. Iyak kitok baik
nangar kato boh. Anyian pasotn di urokng tuho kami duiyo nang bapiturutn sampe
kaniok.” (Jika kalian sudah
besar kelak, kalian lah yang akan menggantikan kami untuk meneruskan budaya
leluhur kita. Jangan kalian sia-siakan semua yang telah diajarkan. Lakukan hal
baik, jauhi hal buruk agar bencana tidak menimpa kampung kita. Saat bencana itu
tiba, kalian harus percaya bahwa Tuhan telah melakukan
kehendak-Nya. Manusia harus menyadari setiap kesalahan yang telah dilakukannya.
Janganlah kalian mengacuhkan nasehat yang telah
kami sampaikan ini, nasehat yang berasal dari leluhur yang
diturunkan hingga sekarang.)
Keduanya
mendengarkan dengan baik, berbagai hal yang disampaikan oleh kedua orangtuanya.
Tentunya nasehat-nasehat tersebut akan bermanfaat saat mereka sudah dewasa.
***
Sumber Cerita:
Alm. Bahari bin Loson bin Nampo (Usia 98
tahun)
NILAI PENDIDIKAN KARAKTER:
Dari
cerita yang berjudul Nek Panggoh di Bukit
Rubotn, nilai pendidikan karakter yang dapat diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari, yaitu: kasih sayang, kerajinan, mencintai lingkungan, kepedulian,
perhatian, ketaatan, amanah, murah hati, kesetiaan, kejujuran, kesediaan,
keterbukaan, keingintahuan, ringan tangan, keriangan, pantang menyerah, panjang
akal, mau berbagi, toleransi, rela berkorban, motivatif, kreatif, inovatif,
menghargai budaya, keikhlasan, tahu berterima kasih, mau bersyukur, tepat waktu,
keberanian, penurut, bijaksana, dan keramahan.
PESAN MORAL:
Dari
cerita yang berjudul Nek Panggoh di Bukit
Rubotn, terdapat pesan moral yang dapat dihayati, yaitu:
1.
Harus
menumbuhkan sikap saling menyayangi kepada anggota keluarga;
2.
Harus
taat kepada kedua orangtua;
3.
Harus
melakukan hal baik kepada sesama dengan ikhlas;
4.
Harus
mau berusaha dan tidak berputus asa;
5.
Menggunakan
akal dan pikiran sebelum bertindak;
6.
Menghargai
dan menjaga keseimbangan alam;
7.
Menjaga
kesehatan dan keimanan;
8.
Tidak
menyerah terhadap masalah yang dihadapi;
Tetap menjaga adat dan budaya yang telah
diwariskan oleh leluhur, sebagai ciri khas dari jati diri bangsa yang kuat.