Mengenai Saya

Foto saya
Singkawang, Kalimantan Barat, Indonesia
Saya berasal dari Singkawang Kalimantan Barat. Saya anak Suku Dayak Salako Garantukng Sakawokng. Saya cinta perdamaian. Saya cinta Indonesia.

Jumat, 26 Maret 2021

Cerpen "Duka Mama" Karya Hendrasius (Hendra Bahari)

 Duka Mama

Tangisan memekik keras saat tangan pak pendeta memberi aba-aba untuk membuka peti jenazah indah berwarna coklat tua berukirmalaikat dan bunga teratai indahdengan dua pintuyang dapat dibuka seharga Rp3 juta rupiah. Di dalamnya terdapat sesosok jenazah wanita tua yang cantik dengan make up dan pakaian yang indah seakan belum meninggal,  “ marilah kita melihat wajah nyonya Kinah untuk yang terakhir kali, sosok wanita yang berhati mulia,tegas,bijaksana dan tegar” sambil mengacungkan tangan nya kearah para pelayat dan memberi aba-aba  untuk  mengalihkan pandangan kearah  peti jenazah yang telah terbuka. Di dalam peti  tampak wajah wanita dengan pakaian indah berusia 70 an.

Wajah ibu tampak bahagia, kemerahan, dengan riasan alis yang hitam ,rambut hitam tersisir rapi seakan belum meninggal. Semua yang menyaksikan seolah-olah melihat wanita yang sedang tertidur pulas menikmati tidur panjangnya dalam sebuah peti jenazah yang indah.

Tetesan air mata membanjiri  wajah semua orang yang menghadiri pemakaman Ny.Kinah. mereka tidak tahan membendung lautan air mata yang siap mendobrak pelupuk mata mengiringi kepergian ibu. Kesedihan meliputi suasana sore itu di sebuah pemakaman umum yang telah dipenuhi warga. Terdengar teriakan “  ibu, jangan tinggalkan kami ....... ” memanggil nama wanita yang tidak akan pernah kembali untuk membagikan kebahagiaannya lagi di tengah-tengah orang tersebut.

Saat peti ditutup,suara tangisan semakin keras memecah suasana pemakaman.  Tampak wajah-wajah lelaki dan perempuan yang dipenuhi air mata dengan wajah kusut penuh kesedihan yang tidak mengenal tingkatan umur dan status sosial. Kesedihan semakin  menggunung, seakan  telah terjadi bencana besar yang menimpa desa itu.

Di tengah kesedihan itu, tampak seonggok gunung kecil berukuran 2 kali 1 yang di atas salah satu ujung sisinya berdiri sebuah tiang salib berwarna hitam yang bertuliskan inisial nama wanita. Onggokan tanah yang di atasnya bertaburan  bunga berwarna – warni dengan potongan daun pandan disertai wewangian dan karangan bunga dari para pelayat.

Di sekitar pemakaman ibu tercium semerbak  wewangian yang menusuk hidung seakan mengiringi kepergian ibu dan  mengakhiri penderitaan selama hidupnya. Di situ tak ada lagi suara tangisan dan doa yang dipanjatkan, sepi dan lenggang tak seorangpun yang tertinggal di situ selain lilin-lin putih yang terus menyala menanti datangnya angin yang akan segera meniup dan akhirnya padam. Awan  hitam semakin menumpuk membuat langit semakin gelap, namun anehnya hujan tidak turun. Apakah gerangan yang terjadi?

“ Tak ada sesuatu apapun yang sempurna dan akan tetap abadi di dunia ini, karna semuanya akan kembali kepangkuan-Nya, kita hanya bisa menunggu kapan kita dipanggil dan menunggu giliran kita. ” itulah ucapan ibu   kepada aku dan kakak ketika makan bersama di ruang dapur tua yang dipenuhi suasana kebahagiaan. Senyuman yang selalu dipancarkan ibu seolah menebarkan aroma-aroma  kebahagiaan  kepada semua yang melihatnya.

“ Ibu ingin kalian menjadi orang - orang yang berguna bagi keluarga, agama, bangsa dan negara.” Ucap ibu.

“ Ibu masih ingat perjuangan ayah dulu saat harus berjuang  dan menumpas para pemberontak terhadap negara kesatuan RI bersama anggota Militer tentara Siliwangi  yang memperjuangkan nasib bangsa masa awal perang kemerdekaan. Ayah tidak pernah  gentar, bahkan takut, apalagi mengeluh akan kematian yang sewaktu – waktu menimpa. Berjuanglah untuk negeri ini selagi kalian bisa, tumpas semua kejahatan, keserakahan dan kezaliman yang ada. Walau kalian harus menderita kehilangan kebahagiaan , kehilangan harta namun kalian tetap memiliki  harga diri dan maruah yang tinggi untuk negeri ini.”  Dengan terbata – bata ibu memberikan wejangan dan pengajaran yang bagiku amatlah berharga di saat makan malam bersama. Tampak sesekali ibu mengambil sesesuap nasi dari dalam piring seng lalu mengarahkan kedalam mulutnya untuk dikunyah, dan mengambil segelas air putih dari ketel alumunium berwarna putih.

Ibu memang gemar bercerita, apalagi di saat suasana makan bersama. Ia menceritakan kebahagiaan isi hatinya kepada aku dan kakak  yang selalu tidak mau jauh dengannya.  Kemana ibu pergi aku selalu risau, aku takut ibu tak kembali. Aku paling takut apabila rasa kebahagiaan ibu sirna berganti dengan kesedihan.  Kebahagiaan yang  ibu punya merupakan nafas hidup buatku. Kebahagiaan seorang ibu hanya dapat aku rasakan tidak akan pernah tergantikan dengan kasih dan kebahagiaan orang lain. Ibu memang memiliki suatu kharisma dan pesona tersendiri, laksana seorang Dewi pelindung yang selalu melindungi anak – anaknya dari kejahatan.

Pernah  saat itu ibu menderita sakit keras, aku dan kakak sangat panik sekali. Ibu tidak bisa bercakap – cakap dikarenakan meminum cairan minyak kayu putih yang  ada di atas meja makan. Hal ini terjadi karena ibu mengira itu minuman penyegar tenggorokan. Kejadian ini membuat shock berat kepada aku dan kakak. Ibu memang sering sakit – sakitan, kata dokter ibu menderita penyakit komplikasi, penyakit lambung kronis, maag, ginjal, rematik pada tulang, dan rabun mata. Hal ini membuat ibu sangat menderita, tak ada tawa dan rasa kebahagiaan. Pada saat kami makanpun ibu tak bisa tersenyum karena menahan betapa kerasnya sakit yang ia derita.

“ Ibu tak ada nafsu untuk makan, ibu hanya ingin minum dan minum. Tenggorokan ibu kering, Ibu sangat haus... ’’ ujar ibu sambil membungkuk dan memegangi perutnya sesekali memegangi tenggorokannya yang mungkin kering dan membutuhkan setetes air.

“ iya bu,tapi Ibu juga harus makan agar ibu bisa kuat.” Sahut ku dengan sabar dan mengharap.

Aku tahu ibu sangat menderita, dengan sakit yang ia derita. Sakit yang ibu derita itu merupakan akibat yang selama ini ibu lakukan. Ibu lupa istirahat, jarang makan, jarang menikmati hari yang indah bersama teman – temannya. Selama ini ibu hanya selalu  memusatkan perhatian pada pekerjaan. Aku memang bangga kepada ibu, selain ia berkharisma, ibu juga cekatan dalam melakukan segala hal, baik di rumah maupun di mana saja. Ibu seorang yang ulet, mau mencoba segala sesuatu yang dianggap baru. Setiap hari ibu bekerja di sawah, tak mengenal waktu. Dari bangun tidur pukul 04.00 pagi hingga pukul  10.00 malam ibu tak hentinya melakukan kegiatan, selain itu yang aku tahu ia tak pernah mengeluh. Kata nenek, ibu memang rajin sejak dari kecil. Tak heran hingga tuapun ibu tetap rajin dan ulet.

Panas terik dan hujan deras bukanlah hambatan buat ibu, ia tetap pergi untuk bekerja di sawah. Bagi ibu, membantu ayah untuk mencari sesuap nasi untuk makan sangatlah penting. Ibu selalu beranggapan bahwa seorang istri harus mau  bekerja  untuk membantu suaminya. Kalau tidak mau membantu artinya istri tersebut tidak setia dalam membina rumah tangga.

Ibu memang seorang yang periang dan suka bergaul dengan tetangga, terkadang teman – temannya dari kampung durian datang ke rumah untuk ngobrol dengannya sambil membuat keranjang yang dalam bahasa dayaknya Jaeje. Keranjang ini terbuat dari bilah bambu kecil yang di potong sedemikian rupa hingga terbentuklah yang namanya Jaeje. Selain membuat jaeje , ibu juga membuat atap rumbia yang terbuat dari daun sagu  untuk di jual ke pengepul seorang taoke cina bernama Khim lin. Taoke ini juga membeli keranjang yang dibuat ibu. Dari hasil penjualan keranjang dan atap inilah , ibu dapat membeli bahan belanjaan untuk dimasak lalu dimakan bersama keluarga. Ibu memang rajin dan teramat rajin, tak ada keluhan dari bibirnya, yang ada hanya rasa bahagia yang selalu terpancar dari wajahnya.

Malam ini ibu terlihat sedikit aneh. Ibu agak sedikit panik. Mungkin sebabnya  hari ini ibu lembur dengan pekerjaannya, karena musim panen padi telah tiba.

“ Pinggang ibu sangat sakit sekali, ibu ingin dipijit...” Keluh ibu sambil memegangi pinggang dan berpegangan pada daun pintu. “ tolong panggilkan Delia, dimana dia? ...”  ujar ibu kepada aku dan kakak.

’’ada bu, sebentar aku panggil Delia dulu bu... ” sahutku pada ibu.

“ Del, ibu panggil kamu tuh, minta dipijit.” Ucapku pada Delia.

’’ iya...’’ jawab Delia.

” uwak, bagian mana yang sakit ....” tanya Delia.

” Pinggang bagian belakang, badan uwak sakit Del ... ” jawab ibu.

Ibu memang selalu dipijit ama Delia, terkadang kalo cucunya datang dari kampung sebelah, pastilah cucunya yang  mengurut ibu. Ibu memang menyayangi semua anaknya, cucunya, keponakannya, dan tentunya semua orang yang mengenalnya. Ibu memang memiliki sifat yang berbeda dengan orang kebanyakan. Ibu selalu bahagia jika ada persoalan. Ibu tidak mau membeberkan aib yang terjadi dalam rumah tangga, apalagi aib orang lain. Ibu memang seorang yang memiliki sifat misterius, mengapa demikian? Karena ibu merasa bahagia apabila mendapatkan suatu masalah. Masalah merupakan sebuah tantangan yang harus ia  jalani, hadapi dan perjuangkan dengan sebuah hasil yang bermanfaat bagi dirinya dan orang lain. Kebahagiaan keluarga sangat ibu kedepankan. Ibu tak mau bahtera rumah tangganya bersama ayah hancur karena suatu masalah yang tidak berguna. Kebahagiaan dan keutuhan keluarga harus dipertahankan dan diperjuangkan. Ibu mempunyai semboyan, makan tak makan yang penting bersama keluarga dan disertai rasa kebahagiaan.

Matahari mulai tertutup gelap, malam pun datang di sertai udara dingin dan suara binatang malam mulai terdengar. Piring dan gelas-gelas kosong  bertebaran di tempat cucian, sedangkan di atas meja makan bertaburan remahan nasi yang terbuang. Panci dan pekakas dapur tergeletak begitu saja di dapur. Ruangan kotor penuh butiran debu dan pasir halus yang belum disapu. Tak ada  suara wanita terdengar di dapur, tak ada bunyi gemercik air di keran. Tak ada bau nasi goreng yang dimasak di pagi hari tatkala bunyi suara adzan subuh  membangunkan umatnya untuk segera sholat. Tak ada lagi acara makan bahagia  bersama ibu lagi. Semua telah sirna, semua telah pupus, semua telah pergi. Tumpukan padi penuh debu tak ada yang menyentuhnya, semua ditinggalkan begitu saja. Semua kebahagiaan  dan aktivitas bersama ibu telah hilang, senyuman  bahagia ibu telah pergi untuk selamanya. Yang tersisa hanya bunyi cicak-cicak yang merayap di atas meja makan , mengerumuni remahan sisa makanan para pelayat yang tadi siang datang ke rumah untuk melayat kepergian ibuku tersayang.

Pakunam, 24 Desember 2009.

Duka Mama by Hendrasius Bahari. 

Puisi "Kumbang Ku, Mana?"

 Kumbang Ku, Mana?

                      Asak hatimu dariku

        Karna kumbang gemuk

Ukir cerita pada bui hati

Hela nafas menantang badai

         Anjar dilempar dari kapal

                   Nyatalah kumbang terbirit-birit

                               Yojana hati telah binasa

                                           Anyang tersaji tak enak di lidah

            Buncah pikiranku

Ingat kumbang yang pergi

            Silu hatiku

Anyir hidupku

                                  Dalam diam hati berkecamuk

                            Ikrar telah kau khianati

              Apalah daya kumbang lain

Menculik dia yang terkasih.

Riwayat Penulis

Hendrasius lahir di Sijangkung, pada hari Minggu 24 Desember 1983. Putera dari pasangan Bahari bin Loson Nampo dengan Kinah binti Usup Nyabukng merupakan putera bungsu dari 10 bersaudara yang berasal dari sebuah Kampung bernama Pakunam yang merupakan wilayah Binua Sakawokng yang sekarang disebut Kota Singkawang, Provinsi Kalimantan Barat. Memiliki hobbi membaca, menyanyi, dan berkebun. Bekerja sebagai Petani Singkong dan Penyiar Radio Diaros Duta Swara Singkawang. Motto: Kegagalan merupakan pengalaman terbaik untuk memperbaiki diri. 

Puisi "Nagariku"

 Nagariku

Sisik-sisik emas berkilau

Intan permata berbalut lumpur

Nampak sang Pangiran berkuasa raya

Gagah gempita tak berdaya

Kalang-kabut berebut burik

Atas kursi-kursi retak tak bertuan

Walaupun muka terlempar lumpur

Aruan terus berenang, terus berenang

Nahi tak lagi dihargai

Gegai sudah nagari bertuah

Kemilau intan dipandang raja

Abadi raya namun tersiksa

Lenyah sutera bertahta emas

Bungkam, sebungkam-bungkamnya

Aum, seaum-aumnya

Rengusan menggema pada mereka.

Biodata

Hendrasius, S.Pd., lahir di Kampung Pakunam, Sijangkung, pada tanggal 24 Desember 1983. Putra bungsu dari 10 bersaudara pasangan Tn. Bahari Loson bin Nampo, dan Ny. Kinah Usup binti Nyabukng memiliki hobbi membaca, menyanyi, dan berkebun.  Motto: Kegagalan merupakan pengalaman terbaik untuk memperbaiki diri. Bekerja sebagai Petani Singkong dan Penyiar Radio Diaros Duta Swara Singkawang. Alamat rumah: Jalan Sagatani RT/RW 16/004 No.4A Dusun Pakunam, Kelurahan Sijangkung, Kecamatan Singkawang Selatan, Kota Singkawang, Provinsi Kalimantan Barat.

Puisi Hujan Kematian

 Hujan kematian

Titik hujan berguguran

Membasahi tiang-tiang pembaringan

Senada irama yang menusuk telinga

Mencelikkan mataku yang buram

Bersama angin dingin

Bersama pekatnya malam

Menusuk-busuk kulitku

Tetes demi tetes air terjun dari langit

Mengerayangi tubuhku yang mungil

Mengguncang dadaku yang dingin

Deras, deras membawa aku terhanyut

Terbawa oleh banjir bandang

Aku tergusur hujan hingga lencun

Aku kedinginan, aku menggigil

Aku tak mampu bertahan

Aku tertimpa gelombang sang Banyu

Aku terdampar ke perut bumi

Bersama jiwa-jiwa yang terhilang

Tersisa nama dan ratapan pilu.


Karya: Hendra Bahari (Hendrasius)

Puisi "Balada Seorang Penyiar"

 Untuk lomba puisi 90 kata

Balada Seorang Penyiar

Terbangun dari mimpi

Kala pagi menyapa

Bersama suara Si Jago Merah

Memanggilku 'tuk menjalani hari bahagia

Menghibur mereka yang mati rasa

Ntuk menyongsong kehidupan baru

Kupaksa diri berlari dari zona nyaman

Yang seharusnya aku nikmati

Demi mereka yang buta rasa

Kupacu kencang kuda besiku

Kutahu itu berbahaya

Demi mereka yang bisu suara hatinya

Kukuatkan semangatku

Sekeras baja demi harapan tuk hari esok

Kukencangkan ikat pinggangku

Sekuat rantai jangkar tuk menahan rasa lapar

Biar mereka dikenyangkan akan kebahagiaan semu

Dari nada-nada bermakna seorang Penyiar

Yang kini punya harapan.


Karya: Hendrasius

Puisi Itu Cinta Buta

 Itu Cinta Buta

Karya: Hendrasius

Cahaya bulan menawan  hati

Iringan senandung angin malam menusuk kulit

Namamu terukir dalam otakku

Tanpa dirimu, hidupku hampa

Asmara cinta gundah gulana

Itulah diriku tanpamu

Tak ada rasa yang bermakna

Untaian mutiara cinta sejati jatuh bertaburan

Beribu malam aku lalui

Untuk menanti jawaban cintamu

Tapi apa yang aku dapatkan

Asmara cintamu telah menjadi buta.

Biodata Penulis

Hendrasius, Putera bungsu dari Sepuluh bersaudara pasangan Bapak Bahari anak Loson cucu Nampo dan Ibu Kisah anak Usup cucu Nyabukng. Lahir pada hari Sabtu, tanggal 24 Desember 1983, di Dusun Pakunam, Kelurahan Sijangkung, Kecamatan Singkawang Selatan, Kalimantan Barat. Menamatkan pendidikan di SDN 6 Sijangkung tahun 1997, SLTP Negeri 2 Tujuh Belas tahun 2000, dan SMU Negeri 3 Singkawang tahun 2003. Memiliki hobby membaca buku, dan berkebun. Pekerjaan sebagai petani singkong. Motto &Tetap jujur dan adil meski berada di antara gelombang besar.& Alamat rumah Jalan Sagatani Rt/Rw: 16/004 no.4 Dusun Pakunam, Kelurahan Sijangkung, Kec. Singkawang Selatan, Kota Singkawang, Propinsi Kalimantan Barat, Indonesia.

Puisi "Untukmu Muridku"

 Untukmu Muridku

Karya: Hendrasius, S.Pd.

                  Indah hari tiada terduga,

                   Kala suka berubah duka,

                 Nan rupa murid tercinta,

Ananda yang telah pulang ke haribaan,

Semerbak wangi melati mengiringi jenazahnya,

                         Indah hari berubah mendung,

                 Ukirkan nama di kayu salib,

                 Saksi bisu dia yang pergi.

                             Jeritan tangis menyayat hati,

                          Entah siapa yang tahu,

                    Kapan dia kan pergi,

                    Isyarat alam bersama angin dan titik air.

                                                           Mutiara berkilau,

                                                            Ukir namamu di SANA,

                                                             Rajut cita yang telah tiada,

                                                             Indah jika tergapai,

                                                             Duka nestapa bagi dia yang mati muda,

                                                             Kesatria pahlawan keluarga,

                                                             Untuk dia selamanya.

Rantau Sibaju, 9 Juli 2020.

Riwayat Penulis

Hendrasius, S. Pd., atau yang lebih akrab dipanggil Hendra Bahari Singkawang, lahir pada hari Sabtu, 24 Desember 1983 di Kampung Pakunam, Kelurahan Sijangkung, Kecamatan Singkawang Selatan, Kota Singkawang, Kalimantan Barat. Putra bungsu dari Sepuluh bersaudara pasangan Alm. Bahari anak Loson cucu Nampo, dan Almh. Kinah anak Usup cucu Nyabukng. memiliki hobbi membaca, menyanyi, memasak, dan berkebun.

Puisi "Bulan Cinta"

Bulan itu merajuk,

Aku takut Dia juga merajuk,

Bulan menimpa cintaku,

Aku takut Dia terhimpit cinta.


Maret, 26 2021

Hendra Bahari

Puisi Ngauk Kapalo karya Hendra Bahari Singkawang 2024

 Ngauk Kapalo (Hendra Bahari Singkawang)   Nanang mato ka oncok bukit, Maok ijook gaik taraboh, Antoh mato dameo, Mato urok taraboh, Ka puhu...